online vs konvensional
Banyak supir taksi konvensional, meski tidak semua, semisal
Blue Bird dan Express, berdemo menuntut agar taksi dan ojek yang berbasis
aplikasi ditutup. Pasalnya, menurut klaim mereka, pendapatan berkurang seiring
dengan meningkatnya popularitas dari taksi dan ojek online. Demo ini diwarnai
dengan aksi kerusuhan, yang kemudian menjadikan warga ketakutan. Lantas,
mengapa fenomena ini terjadi? Sebenarnya, terjadi perbedaan cara pandang di
kedua pihak. Di pihak pengemudi taksi konvensional, mereka merasa dirugikan.
Pertama, taksi
konvensional terdaftar secara resmi di dinas perhubungan, sehingga berhak
mendapat plat kuning, tanda angkutan umum sedangkan taksi berbasis aplikasi
menggunakan kendaraan biasa, yang bukan
untuk angkutan umum. Kedua, dengan mereka resmi sebagai angkutan umum, mereka
pun berkewajiban membayar pajak yang berbeda dengan pengguna plat hitam, plat
kendaraan biasa, yang juga digunakan oleh taksi berbasis aplikasi. Ketiga,
taksi konvensional menggunakan metode menunggu penumpang, sedangkan taksi
berbasis aplikasi menjemput penumpang. Keempat, yang paling krusial, adalah
perbedaan tarif, tarif taksi konvensional jika dibandingkan dengan tarif taksi
berbasis aplikasi berbeda jauh. Terakhir, ini adalah masalah adaptasi terhadap
teknologi yang diambil peluangnya oleh pengguna taksi berbasis aplikasi, dan
belum digarap dengan baik oleh pihak pengelola taksi konvensional .
Modernisasi
Seorang ahli
sosiologi, Peter Barger mengemukakan ada empat karakeristik modernisasi.
Pertama, penurunan kondisi masyarakat kecil dan tradisional. Pada kasus ini,
pihak yang disebut sebagai masyarakat tradisional adalah pengemudi taksi
konvensional. Mereka menunggu penumpang, atau menunggu ditelepon oleh penumpang
untuk dijemput di tempatnya. Padahal, masyarakat ibukota saat ini, sudah sangat
terkoneksi dengan baik pada akses internet dan mulai meninggalkan penggunaan
telepon.
Kedua,
berkembangnya pilihan individu. Pada kasus ini, pilihan individu menjadi
berkembang. Dengan munculnya aplikasi seperti Go-Jek, Uber, dan Grab, pilihan
masyarakat untuk pergi menjadi lebih banyak. Tentunya, masyarakat akan melihat
dari segi efektivitas dan efisiensi. Pilihan pun akhirnya jatuh kepada yang
lebih murah dan mudah. Tarif yang ditawarkan lebih murah, sedangkan pengguna
pun bebas mau dijemput dari mana saja.
Ketiga,
meningkatnya keragaman sosial. Pada kasus ini, keadaan sosial masyarakat
berubah. Jika pada masa sebelumnya, dengan pilihan yang terbatas, masyarakat
menggunakan kendaraan umum tersebut. Namun, dengan semakin bertambahnya
pilihan, opsi yang dapat masyarakat pilih semakin beragam. Modernisasi akan
membawa masyarakat pada pilihan yang rasional, tidak lagi berdasarkan gengsi
operator taksi, namun lebih kepada kemudahan dan harga.
Keempat, orientasi
pada masa depan dan perhatian pada waktu. Dalam isu ini, terlihat bahwa
masyarakat semakin peka terhadap arus informasi. Hal inilah yang ditangkap para
inventor, yang kebanyakan anak muda, dengan memanfaatkan potensi yang ada.
Potensi yang dilihat sebenarnya sederhana, dengan semua orang, khususnya
eksekutif muda ibukota menggunakan telepon pintar, mereka pasti terhubung
dengan internet. Internet pun menjadi solusinya. Apalagi sistem operasi telepon
pintar dapat memfasilitasi untuk pembuatan aplikasi-aplikasi baru. Dibuatlah
aplikasi yang terhubung dengan internet.
Internet dipandang
sebagai jawaban atas kebutuhan masa kini hingga beberapa waktu ke depan.
Apalagi, dengan semua solusi yang dapat diraih hanya dengan sentuhan di telepon
pintar, masalah waktu dapat teratasi.
Perubahan sosial
Menurut seorang
Sosiolog, Mascionis, terdapat empat karakter utama perubahan sosial. Pertama,
perubahan sosial terjadi sepanjang waktu. Pada masa lalu, transportasi umum
yang paling laku adalah delman dan becak. Kemudian berkembang dengan adanya
bajaj dan bus kota. Lalu, masyarakat mencari sesuatu yang lebih nyaman,
muncullah taksi. Kini, masyarakat ibukota lebih mementingkan kecepatan seiring
dengan kemacetan yang semakin parah, muncullah Go-Jek dan Grab. Ini sesuatu
yang tidak dapat dihindarkan, karena akan terjadi sepanjang waktu berdasarkan
kondisi masyarakat.
Kedua, perubahan
sosial terkadang dapat diketahui, namun seringkali tidak direncanakan. Sebenarnya,
munculnya angkutan umum berbasis aplikasi sudah dapat diprediksi dengan semakin
meningkatnya pengguna telepon pintar. Namun demikian, ketika hal ini semakin
masif terjadi seperti saat ini, perubahan menjadi tidak terencana. Pengemudi
yang kurang tanggap pun pada akhirnya hanya bisa meluapkan kekesalannya dengan
marah dan berdemonstrasi.
Ketiga, perubahan
sosial selalu kontroversial. Kasus ini menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Banyak kalangan yang mendukung taksi konvensional, namun tidak sedikit pula
yang kontra. Pada masa lalu, sebenarnya bukan belum pernah terjadi yang semacam
ini. Contohnya delman yang merupakan kendaraan umum yang cukup populer di tahun
60-an sampai 80-an. Kemudian, karena dianggap mengganggu kenyamanan umum, yang
disebabkan bau kotoran kuda yang tidak sedap, akhirnya ditertibkanlah delman
ini. Sampai ada pula yang melarang. Ini bukan tanpa kontroversi, para kusir
delman yang bergantung pada delman pasti merasa dirugikan. Untuk berpindah ke
pekerjaan lain pun belum tentu mampu. Ini mirip dengan kejadian saat ini.
Keempat, suatu
perubahan sosial lebih menonjol dibanding yang lainnya. Pada masalah ini,
perubahan sosial dalam bidang transportasi terlihat menonjol. Padahal, hal ini
disebabkan oleh revolusi informasi dan komunikasi. Perubahan besar dalam
teknologi informasi dan komunikasi membuat banyak dampak. Salah satunya, di
dalam transportasi umum. Solusi Kini,
dengan adanya fenomena ini tidaklah bijak jika mencari pihak yang salah.
Kalaupun ada pihak yang harus disalahkan, maka semua akan menjadi pantas untuk
disalahkan. Mengapa? Pihak taksi konvensional salah karena tidak tanggap dengan
perubahan zaman, belum lagi kesalahan dalam demonstrasi yang berujung anarki.
Pihak penyedia transportasi berbasis aplikasi salah juga karena tidak mengikuti
peraturan yang berlaku, juga mereka tidak menyediakan harga yang berkeadilan
dengan pesaing yang sudah lama ada. Pemerintah pun juga menjadi salah, karena
tidak tanggap dalam melihat fenomena yang ada di masyarakat, dengan belum
menyediakan peraturan yang dapat mengakomodir dan menertibkan konflik yang
ada.
Maka, sebenarnya
solusinya tinggallah jawaban dari kesalahan semua pihak ini. Pihak taksi
konvensional sudah harus lebih tanggap terhadap perkembangan teknologi, buatlah
layanan yang sama dengan membuat aplikasi yang menarik. Pihak penyedia
transportasi berbasis aplikasi, sebaiknya menggunakan plat kuning, juga tidak
memberikan harga yang terlampau jauh dengan yang sudah ada sehingga persaingan
menjadi sehat. Pemerintah, sudah selayaknya membuat peraturan, dan memastikan
bahwa persaingan yang ada terjadi secara sehat dan tidak ada ‘adu modal’ yang
merupakan ciri kapitalisme dan bertentangan dengan ekonomi kerakyatan.
Terakhir, masyarakat akan dengan mudah memilih dengan cerdas apa yang mereka
hendak gunakan.
Kerusuhan hari
ini sangat disesalkan. Meski demikian, sudah sepatutnya ini membuka mata kita
bahwa kita berada pada masa modernisasi yang membuahkan suatu perubahan sosial
di masyarakat. Kalau urusan rezeki, tidak perlu dirisaukan. Karena jutaan orang
pun mencari rezeki di ibukota kita tercinta.
“Pantaskah diriku takut menjadi miskin, sedangkan diriku merupakan hamba
dari Yang Maha Kaya?"
Komentar
Posting Komentar