industrialisasi di indonesia
Dari jumlah
penduduk indonesia termasuk negara sedang berkembang terbesar ketiga setelah
india dan cina. Namun diluar dari segi industrialisasi indonesia dapat
dikatakan baru mulai, salah satu indikator dari industrialisasi adalah
sumbangan sektor industri dalam GDP (gross domestic product). Dari ukuran ini
sektor industri di indonesia sangat tertinggal dibandingkan dengan
negara-negara utama di asia. Dua ukuran lain adalah besarnya nilai tambah yang
dihasilkan sektor industri dan nilai tambah perkapita.
Dari segi
ukuran mutlak sektor industri diindonesia masih sangat kecil, bahkan
kalah dengan negara-negara kecil di Asia seperti Singapura, Hongkong dan tawan.
Secara perkapita nilai tambah sektor industri termasuk yang paling rendah di
Asia. Indikator lain tingkat industrialisasi adalah produksi listrik perkapita
dan prosentase produksi listrik yang digunakan oleh sektor industri. Di
indonesia produksi listrik perkapita sangat rendah, dan dari tinggkat yang
rendah ini hanya sebagian kecil digunakan oleh konsumen industri.
Keadaan
sektor industri selama tahun 1950 an dan 1960 an pada umumnya tidak
menggembirakan karna iklim politik pada waktu itu yang tidak menentu. Kebijakan
perindustrian selama awal tahun 1960 an mencerminkan filsafat proteksionalisme
dan etatisme yang ekstrim, dengan akibat kemacetan produksi. Sehingga sektor
produksi praktis tidak berkembang ( stagnasi ). Selain itu juga disebabkan
karna kelangkaan modal dan tenaga kerja ahli yang memadai .
Perkembangan
sektor industri mengalami kemajuan yang cukup mengesankan pada masa PJP I, hal
ini dapat dilihat dari jumlah unit usaha, tenaga kerja yang diserap, nilai
keluaran yang dihasilkan, sumbangan devisa dan kontribusi pembentukan PDB,
serta pertumbuhannya sampai terjadinya krisis ekonomi di Indonesia.
FAKTOR-FAKTOR PEMBANGKIT
DAN PENGHAMBAT INDUSTRI DIINDONESIA
Ada beberapa
faktor yang dapat membangkitkan perindustrian diindonesi, diantaranya adalah :
1.
Struktur organisasi
Dilakukan
inovasi dalam jaringan institusi pemerintah dan swasta yang melakukan impor.
Sebagai pihak yang membawa,mengubah, mengembangkan dan menyebarluaskan
teknologi.
Perlu sikap
dalam menentukan pilihan untuk mengembangkan suatu teknologi apakah menganut
tecno-nasionalism,techno-globalism, atau techno-hybrids.
3.
Kepemimpinan
Pemimpin dan
elit politik Indonesia harus tegas dan cermat dalam mengambil keputusan. Hal
ini dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan pasar dalam negeri maupun luar
negeri.
Faktor-Faktor
yang dapat menghambat perkembangan perindustrian adalah :
1.
Keterbatasan teknologi
Kurangnya
perluasan dan penelitian dalam bidang teknologi menghambat efektifitas dan
kemampuan produksi.
2.
Kualitas sumber daya manusia
Terbatasnya
tenaga profesional di Indonesia menjadi penghambat untuk mendapatkan dan
mengoperasikan alat alat dengan teknologi terbaru.
3.
Keterbatasan dana pemerintah
Terbatasnya
dana pengembangan teknologi oleh pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur
dalam bidang riset dan teknologi
SUMBER-SUMBER PEMGHEMATAN DAN
KEUNTUNGAN INDUSTRI
1. Proteksi dan pola
indutrialisasi di Indonesia
Kebijaksanaan proteksionisme di Indonesia terutama
mangandalkan diri pada tarif bea masuk yang tinggi dan pembatasan
kuantitatif berupa larangan total atas impor barang-barang tertentu,
seperti kendaraan-kendaraan bermotor dan barang-barang elektronika. Dalam
hal-hal dimana kapasitas domestik suatu industri dianggap sudah memadai untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat, pemerintah Indonesia juga berkecenderungan untuk
mengeluarkan larangan total atas impor. Sejak neraca pembayaran Indonesia
mengalami deficit yang besar dalam transaksi berjalannya. ada tahun 1982-1983 ,
maka hambatan-hambatan atas impor barang-barang jadi telah bertambah
lagi. Apa dampaknya dari kebijaksanaan proteksionistis atas perkembangan
sektor industri di Indonesia ? Di satu pihak adanya hambatan impor atas
berbagai barang impor telah mendorong banyak investasi, di cabang- cabang
industry yang menikmati proteksi tersebut. Malahan banyak investor asing pada
akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an justru tertarik untuk menanamkan
modal mereka di Indonesia untuk menghindarkan diri dari hambatan-hambatan impor
yang dikenakan terhadap barang-barang mereka yang sebelumnya diekspor ke
Indonesia. Di berbagai cabang industry yang menikmati proteksi rupanya telah
terjadi “kelebihan investasi” (over- investment), sehingga cabang-cabang
industri ini kemudian manghadapi masalah kelebihan kapasitas yang cukup gawat,
yang tidak memungkinkan industry-industri ini untuk menarik manfaat dari skala
ekonomi (economic of scale) (penurunan dalam biaya rata-rata jangka panjang
jika tingkat produksi ditingkatkan).
Disamping ini proteksi yang diberikan kepada berbagai
cabang industri tidak memberikan dorongan kepada para industriawan untuk
mencapai tingkat efisiensi operasional yang tinggi. Artinya, menekan biaya
rata-rata sampai tingkat yang serendah mungkin. Dampak lain dari kebijaksanaan
proteksinistis atas perkembangan sektor industri Indonesia adalah terjadinya
alokasi sumber-sumber daya produktif yang kurang efisien. Dengan ini diartikan
bahwa sumber daya produktif justru mengalir ke bidang-bidang di mana Indonesia
justru tidak atau belum mempunyai kenunggulan komparatif, yaitu
industri-industri yang menghasilkan barang-barang yang padat modal. Di lain
pihak produksi-produksi barang-barang di Indonesia justru mempunyai keunggulan
komparatif yang lebih besar, yaitu barang-barang padat karya tetapi kurang
mandapat rangsangan yang memadai. Dengan kata lain, kebijaksanaan protrksionistis
di Indonesia telah banyak mendorong produksi barang-barang yang dapat
menggantikan barang-barang impor, sedangkan barang-barang jadi yang dapat
diekspor kurang atau tidak mendapat rangsangan sama sekali.
Dengan tingkat
proteksi efektif yang akan mencapai beberapa ratus persen bagi berbagai barang
konsumsi bertahan lama, seperti kendaraan bermotor, maka tidak mengherankan
bahwa cabang-cabang industry yang menghasilkan jenis-jenis barang jadi ini
sebenarnya menghasilkan nilai tambah yang negative jika di ukur dengan harga
internasional. Hel ini berarti bahwa pembuatan barang-barang tersebut akan
memerlukan banyak devisa daripada jika barang-barang tersebut diimpor dalam
bentuk utuh. Dengan demikian maka timbul suatu struktur industry yang kurang
efisien dan yang menghasilkan barang-barang jadi dengan biaya-biaya yang tinggi
dengan mutu yang kurang memadai. Dengan pasaran dalam negeri yang dilindungi
ketat terhadap saingan impor menjadikan para industriawan tidak termotivasi
untuk meningkatkan produktivitas dan memperbaiki mutu barang-barang mereka.
2. Promosi Ekspor
Melonjaknya
harga minyak pada tahun 1970-an memungkinkan pemerintah menerapkan tingkat
bunga di bawah tingkat keseimbangan pasar dan menyalurkan kredit dengan suku
bunga rendah pada sector prioritas. Di topang oleh bantuan luar negeri dan
melonjaknya penerimaan negara dari minyak dan gas, Indonesia mengalami
pertumbuhan ekonomi yang cepat dan neraca pembayaran yang relative sehat sejak
tahun 1973. Pengeluaran pemerintah yang dibiayai pendapatan migas menjadi mesin
utama pertumbuhan untuk keseluruhan perekonomian. Ekspor miugas pun menyumbang
sebagian besar devisa. Pendapatan adri migas memungkinkan Indonesia untuk
membangun dasar industri, baik industri hulu maupun industri strategis. Banyak
di antaranya merupakan bada usaha milik negara sperti baja, semen, dan pupuk.
Inisiatif pemerintah untuk membangun industri berat dicerminkan oleh kenaikan
tajam dalam pangsa barabg-barabg logam dan produksi pengolahan industri berat
antara tahun 1975-1980.
3. Teknologi
Indonesia
sebagai negara yang berkembang harus mengejar ketertinggalan teknologi lewat
industri berteknologi tinggi yang terpilih. Namun, tidak salah pula jika kita
memerlukan adanya visi efisiensi dalam proses transformasi teknologi.
Teknoekonomi merupakan merupakan suatu kemampuan memanfaatkan teknologi secara
efisien dan efektif. Kemampuannya mencakup kemampuan memilih teknologi,
mengoperasikan proses, menghasilkan barang dan jasa, serta mengelola perubahan.
Perubahan pada paradigma teknoekonomi memunculkan system teknologi yang baru
dan menimbulkan pengaruh yang menyeluruh pada semua sisi perekonomian.
Perubahan pada paradigma teknoekonomi akan menimbulkan produk baru dan proses
teknologi baru pada sebuah bentuk industri baru. Perubahan demikian menyebabkan
perubahan pada struktur biaya input, produksi, serta distribusi pada
perekonomian secara keseluruhan.
Sehingga
dengan adanya teknologi akan menghemat biaya-biaya proses produksi dalam
industri. Keuntungan-keuntungan industri :
1.
Merubah keaadaan yang serba bergantung pada luar
negeri, untuk menjadikan ekonominya lebih self sufficient. Sebab umumnya
negara-negara tersebut masih memiliki struktur ekonomi yang berat sebelah,
yaitu merupakan negara agraris, yang sekaligus merupakan ekonomi ekspor. Kekayaan-kekayaan
alam yang mereka miliki dengan berbagai hasil tambangnya, kesuburan tanah yang
menghasilkan berbagai hasil pertanian, sebagian besar belum mampu mengolah
sendiri sehingga harus dijual ke luar negeri. Begitu pula segala kebutuhan
barang-barang sampai beras yang merupakan hasil pertanian juga masih harus
diimpor. Lebih-lebih peralatan-peralatan modal untuk memajukan industrinya,
alat-alat transport dan sebagainya, yang belum mampu dibuat sendiri jelas harus
diimpor. Dengan keadaan yang demikian negara tersebut dalam keadaan yang sangat
lemah, dilihat dari segi ekspor maupun impor.
2.
Dengan industrialisasi diharapkan dapat
meningkatkan produktifitas tenaga kerja, dengan mempergunakan
teknologi yang lebih modern.
3.
Menambah lapangan-lapangan kerja baru untuk memperkecil jumlah
pengangguran.
4.
Dari segi neraca pembayaran, dimaksudkan agar secepatnya dapat memperbaiki
neraca pembayaran yang selalu defisit. Maksudnya sekalipun dalam jangka pendek
adanya industrialisasi terpaksa banyak mengimpor mesin-mesin, alat-alat
transport, sehingga memerlukan devisa yang sangat besar, tetapi lama-kelamaan
diharapkan adanya industry-industri substitusi impor akan mengurangi devisa
yang kita butuhkan sebaliknya kita mampu memperbesar ekspor kita.
Komentar
Posting Komentar