DEAR DYLAN
AFTER A YEAR...
“GRRRRRR... ke mana sih dia?!”
Aku mengentak-entakkan kaki dengan kesal sambil berjalan mondar-mandir di depan Sushi
Tei. Penerima tamu Sushi Tei yang berdiri di dekatku kayaknya sebentar lagi bakal membunuhku
dengan tatapannya kalau aku nggak cepat-cepat pergi dari sini. Dari tadi dia memelototiku terus!
Dengan napas setengah tertahan, aku melirik jam yang terpampang di layar HP-ku. Pukul
19.30. Dua jam aku menunggu, dua jam!!!
Dan dia selalu nggak bisa ditelepon kalau ngaret begini! Benar-benar kebiasaan jelek yang
baru kutahu setelah kami jadian. Ganteng-ganteng ternyata suka ngaret, suka sok kagak
mengangkat HP-nya pula kalau ditelepon, huh!
Aku mencoba menarik napas dalam-dalam. Oke, there’s always sunny side in everything, Alice.
Mungkin dia terpaksa mengulang adegan di video klipnya sampai beberapa kali karena model
untuk video klip itu begitu idiotnya hingga tak tahu bagaimana cara memeluk yang benar, dan
take peluk-memeluk itu harus diulang...
Take peluk-memeluk? Harus diulang?
“Grrrrrr...!” Aku mengertakkan gigiku sekali lagi. Menunggu dua jam sambil mondar-mandir
kayak setrika begini sudah cukup membuatku kesal, seharusnya aku nggak perlu membayangkan
cowokku, yang vokalis band terkenal itu, terpaksa mengulang adegan peluk-memeluk dengan
model video klipnya yang idiot!
Atau malah model itu begitu PINTARnya, sampai dia bisa berpura-pura bodoh dalam
adegan peluk-memeluk, dan dengan begitu bisa mengulang adegan itu berkali-kali???
Awas nanti kalau dia DATANG!
“Sayang!”
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membalikkan tubuh. Dan dengan radar
yang sudah terlatih, aku bisa merasakan orang-orang di sekitarku sudah membeku di tempat
mereka masing-masing.
“Dylan...,” geramku jengkel melihat dia cengengesan, tapi amat sangaaaattt ganteng dalam
long-sleeve putih dan celana jins abu-abunya.
Kebekuan di sekitarku makin terasa menusuk. Aku bisa merasakan tatapan mata banyak
orang menghunjam pada kami.
Yeah, pacarku ini seleb. Sangat sulit jalan bareng dia tanpa dilihatin begitu banyak orang.
Tapi yah... sekarang aku sudah mulai terbiasa.
“Ah, kamu pasti udah lapar ya, sampai memanggilku Dylan begitu?” tanyanya, masih sambil
cengar-cengir.
Memangnya aku masih bisa memanggilnya “Say” setelah aku terpaksa ngetem di sini
menunggu dia, heh? “Aku nungguin kamu DUA JAM, tau! Dua jam!”
“Iya, iya, Say... Maaf yaa... Tadi syuting video klipnya kacau berat sih! Nggak tau deh model
dari agensi mana yang dipilih Bang Budy, dia bego banget sampai adegannya harus diulang
melulu...”
Serasa ada yang menabuh genderang perang di dadaku mendengar omongan Dylan barusan.
Berarti memang benar model video klip Skillful pura-pura bodoh supaya dia bisa mengulang...
“Kalian retake adegan pelukan terus, ya?” tanyaku akhirnya, nggak tahan kalau harus
bertanya-tanya tanpa henti dalam hati.
Dylan kelihatan bingung. “Adegan pelukan? Kok adegan pel...”
“Bukan? Terus apa? Adegan ciuman? Kalian retake adegan itu terus, ha?!”
“Eh, Say, kayaknya kamu harus...”
“Apa? Aku harus apa? Harus sabar? Kuulangi ya, aku DUA JAM menunggumu di sini, dan
yang kamu lakukan malah retake adegan ciuman sama model bego dari agensi tolol???” Aku,
entah dapat energi dari mana, menyerocos tanpa henti. Sebodo amat kalau dilihatin orang!
Dylan menatapku lurus-lurus selama beberapa detik, lalu meledak tertawa. Orang-orang yang
tadinya memandangi kami karena Dylan seleb, sekarang, aku yakin, memelototi kami, karena
Dylan yang seleb sedang bertengkar dengan ceweknya yang setengah bule dan overhisteris.
“Say, dari mana kamu dapat pikiran aku retake adegan pelukan dan ciuman sama si...”
“Terus apa, ha?”
Dylan tersenyum. “Mau jawaban jujur?”
“Coba saja bohong,” kataku marah, “dan aku akan bilang ke Tante Ana kamu bikin aku
kesal!”
Pipi Dylan berkedut sedikit, aku yakin dia pasti nggak mau mengambil risiko itu. Tante Ana,
mama Dylan, amaaaaat sangaaaaat menyayangiku, seolah aku anaknya sendiri. Mungkin dia bakal
lebih marah kalau mengetahui Dylan membuatku menunggu dua jam daripada mengetahui
akulah yang tanpa sengaja menginjak pot bunga mawar beliau di kebun rumahnya saat aku ke
sana minggu lalu.
Bukannya aku menyembunyikan “aib” kecilku itu, tapi...
“Adegan yang terpaksa di-retake terus,” kata Dylan sambil memegang bahuku, “bersama
orang yang kamu sebut model-bego-dari-agensi-tolol itu, adalah adegan tampar-menampar.”
Ha! Dia mau coba ngibul rupanya! Apa yang sulit dari adegan tampar-menampar? Aku, yang
bukan model video klip saja, pasti sukses melakukannya dalam sekali take! Lain kalau adegan
ciuman! Di film Harry Potter and the Order of the Phoenix, Daniel Radcliffe dan Katie Leung harus
mengulangnya 27 kali!!!
Oh tidak, 27 kali...?
Kalau Dylan berani-berani...
“Nih, kalau nggak percaya, pegang aja pipiku,” kata Dylan sambil meraih tangan kananku
dan menuntunnya ke salah satu pipinya.
Aduh, pipinya haluuuuss sekali. Dia pasti baru bercukur tadi, aroma aftershave-nya...
“Si model bego dari agensi tolol itu,” kata Dylan lagi, “harus TUJUH kali menamparku
supaya Bang Budy puas dengan hasil gambarnya. Di take pertama, dia terlalu nervous. Take kedua,
dia menamparnya nggak serius. Take ketiga, dia kelihatannya nggak tega menamparku lagi. Take
keempat...”
“Oke, oke, aku percaya,” kataku sambil menahan tawa. Memang kalau diamati betul-betul,
seperti ada memar merah di pipi Dylan, yang, kalau diamati dengan lebih saksama lagi,
menyerupai bentuk telapak tangan manusia.
“Gitu dong,” kata Dylan sambil mengacak rambutku sayang. “Yuk masuk.”
Dylan menggandengku memasuki Sushi Tei, dan si penerima tamu di depan sana
terlongong-longong begitu mengetahui siapa yang membuatku mondar-mandir di depan restoran
tempatnya bekerja selama dua jam tadi. Mungkin dalam hatinya dia bersyukur nggak mengusirku,
karena kalau iya, mungkin dia seumur hidup nggak akan punya kesempatan lagi untuk melihat
Dylan hanya berjarak setengah meter darinya.
“Say, pesan apa?”
Aku membolak-balik buku menu dengan tampang bloon. To be honest, aku nggak suka sushi.
Yah, nggak pantang-pantang banget sih. Aku cukup suka dragon roll, juga shrimp ‘n cheese, tapi itu
pun yang biasa kumakan di bistro sushi milik teman kakaknya Grace, yang adalah sobat kentalku.
Aku nggak berani ambil risiko untuk mencoba menu yang sama juga di sini, siapa tahu rasanya
beda. Lidahku agak rewel kalau menyangkut sushi.
“Ehm, maaf, tapi Mas ini Dylan-nya Skillful, ya?”
Aku mendongak mendengar pertanyaan itu, dan melihat waitress Sushi Tei sedang menatap
Dylan dengan jenis tatapan omigod-ada-seleb-di-depan-gue!, dan dia tampak amat sangaaattt
terpesona. Dylan, sementara itu, mengangguk dengan refleks. Cara mengangguk yang kentara
sekali sudah terlatih. Bukan jenis anggukan yang terlalu sombong, tapi bukan juga yang terlalu
riang gembira, yang membuatnya terlihat terlalu antusias karena ada yang menyadari dia seleb.
“Waaaahhh!” seru waitress itu bersemangat. “Maaf kalau saya mengganggu, tapi saya boleh
minta tanda tangannya? Boleh foto bareng?”
Dylan, sekali lagi, mengangguk. Cara mengangguknya... yah, seperti yang kujelaskan tadi.
“Di mana saya harus tanda tangan?”
Si waitress tergopoh-gopoh mencari media kosong yang bisa dipakainya untuk mendapatkan
tanda tangan Dylan, dan akhirnya dia menyodorkan sehelai kertas putih dengan bolpoin. Dylan
menandatanganinya, lalu mengembalikan kertas itu, bonus senyum.
“Ehh... foto barengnya?”
“Boleh,” kata Dylan lagi.
Si waitress mengeluarkan HP-nya dari dalam saku, lalu tampangnya berubah bingung karena
tak tahu bagaimana harus memotret dirinya dan Dylan bersama-sama.
“Sini, Mbak, saya aja yang fotoin,” kataku menawarkan diri, dan si waitress kelihatan seolah
dia baru dikabari akan naik gaji.
“Aduuuhh, makasih sekali ya, Mbak,” katanya dengan nada puja-puji. “Boleh saya minta
foto dua kali?”
Aku mengangguk. Bonus senyum. Dua kali flash menyala, dan kukembalikan HP itu kepada
pemiliknya.
“Aduh, makasih ya, Mas Dylan, Mbak... ngg...”
“Alice,” Dylan melanjutkan, “dia pacar saya.”
Aku harus mengakui dengan malu bahwa sampai sekarang, aku masih sering terlongong saat
Dylan memperkenalkanku sebagai pacarnya di depan orang lain. Tahun lalu, kami harus total
menyembunyikan hubungan kami karena...
Yah, sudahlah, pokoknya aku senang karena sekarang aku dan Dylan bisa go public tanpa ada
ancaman dari pihak mana pun.
“Ah iya, Mbak Alis!” kata si waitress dengan nada sok tahu. Aku ingin membetulkan caranya
menyebutkan namaku, yang seharusnya “Ellys” dan bukannya “Alis”, tapi biar sajalah. Namaku
memang selalu terpeleset di lidah orang Indonesia.
“Nah, Say, pesan apa?” Dylan mengulangi pertanyaannya beberapa menit lalu.
Aku membolak-balik buku menu sekali lagi, dan berusaha memilih satu di antara jajaran foto
sushi itu yang kelihatannya-akan-oke-berada-dalam-perutku.
Aha, ini dia! Baked Salmon Takamaki! Kelihatannya enak!
“Salmon Takamaki-nya satu, Mbak,” kataku sok ahli, seolah itulah makanan yang selalu
kupesan kalau aku datang ke Sushi Tei.
“Salmon Takamaki satu. Minumnya?”
“Ngg... orange juice deh.”
“Orange juice satu, oke. Mas Dylan pesan apa?” Dia beralih menatap Dylan dengan tatapan
amat sangaaatt terpesona yang tadi lagi, dan kali ini aku tersenyum geli sendiri.
Aku yang dulu menatapnya dengan jenis tatapan seperti itu... Aku yang, sampai sekarang,
setelah setahun berlalu, masih nggak percaya aku bisa pacaran dengan Dylan, yang dipuja-puji
sebegitu banyak cewek di Indonesia. Tuhan sudah begitu baik padaku...
“Inari-nya dua. Chuka Kurage satu. Sama Chicken Katsu deh.”
Si waitress mengulangi pesanannya, dengan berlambat-lambat (mungkin dia berharap bisa
selamanya mencatat pesanan Dylan, hehe), lalu pergi meninggalkan kami berdua.
“Aku curiga,” kata Dylan.
“Apa? Kalau waitress tadi naksir kamu? Aku nggak kaget.”
“Haha, Say, akhir-akhir ini sarkasmemu sedang tinggi, ya? Dapat tugas bahasa Inggris
menulis drama satir lagi?” godanya.
Aku cemberut. Ini karena aku kadang nggak tahan dengan segala tekanan menjadi pacar
seleb, dan mood-ku jadi nggak keruan karenanya. Sedikit happy, lalu jadi supercemburuan, terlalu
curiga, dan kembali tenang. Aku jadi bingung kenapa Dylan nggak mengalami hal yang sama, ya?
Ah iya, yang seleb kan dia. Jelas dia nggak merasakan stresnya punya pacar seleb.
“Hmm, atau kamu lagi PMS? Pengin Marah Selalu?” Dia menggodaku lagi.
“Nggak!” seruku malu. Ngapain sih dia menyinggung-nyinggung soal PMS segala?
Eh, tapi dia betul-betul mengingat omongan ngawurku, bahwa aku mendefinisikan PMS
bukan hanya dengan Pre-Menstrual Syndrome, tapi juga dengan Pengin Marah Selalu. Dasar
Dylan, pantas aja dia masuk fakultas hukum, otaknya Pentium Intel Core Duo 2 begitu.
“Bener nih? Kok kayaknya kamu lagi senewen gitu? Mau aku pesankan es krim?”
Ah, lagi-lagi dia ingat kalau cuma es krim lah yang bisa menenangkan emosiku saat PMS atau
mood kacau-balau. Dia ini benar-benar pacar yang baik, tahu nggak? Hafal apa saja kesukaanku,
pacarnya yang aneh ini.
“Nggak usah, aku nggak papa kok. Lagian di sini bukan Häagen-Dazs, nggak jual es krim.”
Dylan tersenyum geli. Entah kenapa, dia sepertinya selalu menganggapku cewek yang sangat
lucu. Padahal aku jelas-jelas clumsy. Kikuk. Canggung. Tak bisa menempatkan diri. Hanya
beruntung saja jadi pacarnya.
“Kamu mau ngomong apa tadi?” tanyaku akhirnya.
“Apa? Es krim?”
“Bukaaann. Yang soal curiga-curiga tadi itu lho. Kamu curiga apa?”
“Oohh... aku curiga, model video klip tadi sengaja dipilih Bang Budy untuk balas dendam
sama aku.”
“Balas dendam? Emang kenapa? Modelnya siapa?” Tak urung aku penasaran juga, kepingin
tahu siapa model yang dibayar untuk menampar cowokku, walau hanya dalam video klip.
“Regina Helmy.”
Aku melotot. “Regina Helmy...? Kakaknya Anastasia?”
Dylan mengangguk, sementara aku memutar otakku yang pas-pasan. Anastasia yang kusebut
tadi Anastasia Helmy, presenter reality show Pacar Selebriti, acara TV yang membuatku bisa dekat
dengan Dylan sampai akhirnya jadian. Aku merasa, entah bagaimana, berutang budi pada acara
yang satu itu. Dan secara tak langsung, pada Anastasia juga.
Dan soal Regina, hmm... dia model yang sangat top belakangan ini. Berbeda dengan adiknya
yang presenter, dia berprofesi sebagai model, merangkap bintang iklan. Hebatnya lagi, iklan yang
dibintanginya sebagian besar iklan kosmetik. Entah cleansing foam, moisturizer, krim malam,
pokoknya jenis-jenis iklan yang menuntut para modelnya memiliki kemulusan wajah mutlak.
Teknik-teknik “penyempurnaan” via komputer tidak akan terlalu berhasil, kalau modelnya nggak
memang berwajah mulus dari sononya.
Dan aku tadi menyebut Regina apa?
Yep. Model bego dari agensi tolol.
Oohh, mungkin aku yang akan dikontrak oleh Glamour Models, agensi si Regina itu, kalau
saja gen Kaukasia-ku dari Daddy ada lebih banyak, dan tinggiku mencapai 175 cm, bukannya
pendek begini.
Yah, Glamour Models adalah agensi yang mengontrak model-model paling top se-
Indonesia. Mau cari yang paling cantik? Ada. Yang paling seksi? Ada. Yang paling fabulous,
eksotis, komersil, sampai yang punya nilai kontrak termahal di Indonesia, semuanya terdaftar di
bawah manajemen mereka. Hanya model-model berkualifikasi tinggi yang ada di bawah payung
Glamour Models. Dan Regina Helmy adalah “aset” mereka yang utama.
See? Cowokku menghabiskan seharian untuk syuting video klip dengan model bernilai
kontrak termahal se-Indonesia! Pantas saja, dia membuatku menunggu dua jam, walaupun untuk
itu dia harus ditampar tujuh kali oleh Regina, yeah.
“Ini semua pasti akal-akalan Bang Budy! Dia kepingin balas dendam karena bulan lalu aku
sama anak-anak ngerjain dia pas ulang tahun! Dia pasti belum bisa menerima tumpahan telur
busuk di atas kepalanya begitu membuka pintu!” Dylan ngoeml-ngomel, mengemukakan
kecurigaannya.
“Mmm, Say, aku nggak ngerti kenapa Bang Budy mengontrak Regina Helmy untuk jadi
model video klip Skillful kalau dia memang berniat balas dendam sama kamu. Kalau dia memang
berniat balas dendam, yang akan dia kontrak pastilah... Mpok Atiek.”
Dylan mengerjap, dan untuk kedua kalinya hari ini, dia meledak dalam tawa.
“Alice sayang, kamu lucu banget! Hahahaha...” Dia masih terbahak sampai pesanan kami
datang. Si waitress sepertinya masih betah berlama-lama di meja kami, jadi aku menunggu dia
pergi dulu sebelum melanjutkan obrolanku dengan Dylan.
“Lho, aku benar, kan? Kalau dia memang mau balas dendam, ngapain dia kontrak model
paling top di Indonesia? Bukannya lebih baik ditampar berkali-kali oleh Regina Helmy daripada
Mpok Atiek?”
“Hahahaha... masalahnya bukan di Regina atau Mpok Atiek-nya! Masalahnya ada di adegan
tampar-menampar itu! Aku curiga, Bang Budy sengaja menyuruh Regina untuk nggak serius, jadi
dia bisa menamparku berkali-kali dalam syuting itu, untuk melampiaskan dendam Bang Budy!”
Aku melongo. “Hah, yang bener aja!”
“Seriuuuss! Kamu sih nggak lihat ekspresi Bang Budy tadi! Biasanya dia sewot banget kalau
ada adegan klip yang harus diulang, katanya buang-buang waktu yang berharga. Tapi tadi, dia
malah tersenyum-senyum puas waktu adegan Regina menampar aku!”
Aku menggeleng tak percaya. Bang Budy, manajer Skillful yang galaknya ngalah-ngalahin
herder itu, bisa iseng juga? No way!
“Eh, udahlah, kita makan yuk!” Dylan mengedik ke pesanan kami yang sudah tertata di
meja, dan aku mengangguk.
Di mana Salmon Takamaki-ku ya? Hmm...
Aku menatap satu per satu piring sushi yang ada di meja, dan mengernyitkan dahi. Kok
nggak ada satu pun yang mirip dengan Salmon Takamaki yang fotonya ada di buku menu tadi?
“Peasananmu udah datang semua?” tanyaku ke Dylan. Dia mengangguk, dan menunjuk
piring-piring yang merupakan pesanannya.
“Ini Inari, enak deh, Say! Terus ini Chuka Kurage... ini Chicken Katsu... Kamu pesen apa?”
Aku semakin bingung. Hanya tersisa satu piring yang tidak diklaim Dylan sebagai
pesanannya, dan aku sama sekali nggak melihat kemiripan sushi yang ada di piring itu dengan foto
Salmon Takamaki yang kulihat di buku menu tadi.
“Pesanan yang datang salah, ya?” tanya Dylan lagi.
Aku mengangkat bahu. “Yang ini kok nggak mirip pesananku?” tanyaku, lebih kepada diri
sendiri, sambil menunjuk piring sushi-tak-dikenal itu.
“Hmm... coba lihat order list-nya dulu, barangkali waitress-nya tadi salah catat pesananmu.”
Oh ya, betul juga! Bisa jadi si waitress sengaja salah menghidangkan pesanan supaya dia bisa
kembali ke meja ini dan memandangi Dylan lagi.
Dylan mengambil kertas print-out komputer yang ada di sebelah kirinya, dan mengamati
tulisan yang tercetak di situ.
“Kamu pesan Salmon Takamaki?”
“He-eh.”
“Ya berarti bener ini pesananmu.” Dylan menunjuk piring sushi-tak-dikenal itu lagi. “Ini
Salmon Takamaki.”
“Ah, nggak mirip sama foto yang di buku menu!” gerutuku. Dylan jadi ikut bingung.
Dan mendadak aku sadar apa yang salah. Cepat-cepat kuambil buku menu yang masih ada di
dekatku, dan membolak-baliknya.
Yang kupesan tadi... benar Baked Salmon Takamaki, dan fotonya benar-benar tak mirip
dengan sushi di depanku ini. Tapi ada juga yang namanya Salmon Takamaki, dan fotonya benarbenar
mirip si sushi-tak-bertuan. Aku mencoba mengingat-ingat, dan langsung merutuk dalam
hati begitu tahu di mana letak kesalahannya. Sewaktu memesan tadi, aku hanya menyebutkan
“Salmon Takamaki satu”, bukannya “BAKED Salmon Takamaki satu”!!!
Rupanya si waitress nggak salah catat, akulah yang bego kuadrat karena sok irit kata waktu
menyebutkan pesanan!
Ha! Mana kutahu kalau Baked Salmon Takamaki dan Salmon Takamaki rupanya berbeda
jauh begini?
“Say, pesanan yang diantar salah, ya? Aku panggilin waitress-nya, ya?”
Aku menggeleng cepat-cepat. “Nggak, nggak salah kok. Aku aja yang tadi keliru pesannya.
Yang salah aku.”
“Ya udah, kalau gitu kamu pesen lagi aja. Yang itu nggak usah dimakan.”
“Jangan! Aku makan ini aja nggak papa kok.” Aku nyengir bego sambil mengambil sepotong
sushi-tak-bertuan yang kini sudah diketahui siapa tuan... ehh, nyonyanya itu dengan sumpit, dan
memasukkannya ke mulut.
Hmm... not bad. Hanya agak kenyal-kenyal sedikit.
Yang sedetik kemudian kusadari, “kenyal-kenyal” itu berasal dari potongan salmon di
tengah-tengah sushi, yang jelas-jelas MENTAH.
Glek. Aku menelan susah payah. Nggak amis memang, dan sama sekali nggak membuatku
mual. Rasanya bahkan lumayan. Tapiii... “bahan-bahan yang mentah” adalah salah satu alasan
kenapa aku nggak suka sushi. Dan sekarang aku baru saja menelan salah satu di antaranya!
Telan, Alice, telaaaaaannnnn!
“Say, kalau nggak suka nggak usah dipaksain. Nih, kamu makan Chicken Katsu aja,” Dylan
menatapku khawatir, dan menyorongkan salah satu piringnya.
“Nggak usah. Nggg... enak kok. Aku makan ini aja, hehe...”
Dan selama setengah jam berikutnya aku sibuk berkutat menghabiskan Salmon-Takamakisalah-
pesan itu. Mencampurnya dengan kecap asin dan wasabi banyak-banyak ternyata cukup
menolong.
Ohh, how I wish they’ve cooked the salmon....
IDE GILA
BENAR-BENAR nggak terasa sudah setahun gue dan Alice jadian. Rasanya kok kayak baru
kemarin ya gue ketemu dia di jumpa fans pensinya SMA 93? Rasanya baru kemarin Kinar
ngenalin dia ke gue, dan baru kemarin juga ada syuting Pacar Selebriti.
Hmm, memang bener kata orang, waktu terasa berjalan cepat sekali kalau kita menjalani
sesuatu yang menyenangkan.
Setelah masalah dengan Noni dulu itu, nggak ada satu pun masalah lagi yang muncul
antara gue dan Alice. Yah, paling masalah-masalah kecil kayak berantem karena gue datang
telat saat janjian (kalau nggak macet bukan Jakarta namanya, man! Dan Alice terus-menerus
menelepon, padahal bahaya banget kalau gue menerima telepon saat gue di jalan raya!), terus
Alice yang masih suka minder ada di sebelah gue. Nggak tahu kenapa. Padahal di mata gue,
she’s the best girl ever.
Memang, pemberitaan infotainment di awal-awal kami go public dulu nggak begitu
bagus. Gue malah dengar beberapa orang mengomentari gue bego karena blak-blakan
mengaku udah punya cewek. Katanya, tabu buat personel band yang lagi ngetop untuk
mengaku nggak jomblo lagi. Popularitas bia turun, fans bisa bubar jalan.
Sebodo amat lah.
Bukannya fans nggak penting buat gue. Oho, tanpa mereka, siapa sih Skillful? Siapa sih
Dylan? Tapi kalau gue sampai harus mengorbankan perasaan cewek yang gue sayangi hanya
karena alasan kayak gitu, itu gila namanya. Sebuah band harusnya disuka karena lagulagunya
bagus, personelnya ramah, bukan karena masih single atau nggak. Kalau band itu
bener-bener bagus, biarpun semua personelnya udah punya anak, pasti deh fans nggak bakal
lari.
Lho, kok gue jadi berfilsafat ya?
Yah, pokoknya gitu deh pandangan gue. Gue nggak mau menomorduakan Alice, dia
udah banyak terluka gara-gara itu. Bohong kalau gue bilang gue sayang dia, tapi masih
melakukan hal-hal yang bikin dia sedih.
Nah, singkatnya, gue happy. Nggak mau muluk dengan bilang she’s the one. But I would
say that I’ve finally found someone. Someone who could be the one. Gue berani bilang igut
karena melihat satu fakta: Mama, seperti yang udah gue duga, sayang banget sama Alice.
Malah kadang gue ngerasa gue yang dianaktirikan kalau ada Alice.
Contohnya nih, minggu lalu waktu Mama bikin brownies kukus. Yang dibolehin makan
potongan pertama dari pan itu Alice! Terus Mbak Vita, pacarnya Tora. Terus Papa. Terus
Tora. Baru deh terakhir gue dikasih izin. Dianaktirikan banget, kan?
Tapi gue nggak keberatan kok. Kalau Mama udah sesayang itu sama orang, itu pertanda
ke depannya semua rencana bakal mulus.
Nggak percaya? Gue ada bukti: Mama sayang banget sama Mbak Vita (nggak heran sih,
kan Mbak Vit aorangnya taat banget sama Tuhan, cantik, baik, pinter, pula! Gue aja masih
nggak percaya Tora yang suka seenak udelnya sendiri itu bisa dapet cewek kayak Mbak
Vita!), dan sekarang... Tora and Mbak Vita are getting married!
Tora, abang gue yang suka iseng itu, mau nikah! Gue masih nggak percaya!
See? Pokoknya kalau Mama setuju, semuanya langsung berjalan mulus.
Yah, bukannya gue berpikir mau merit sama Alice atau apa (gila aja, dia kan belum lulus
SMA!), tapi ini bisa jadi pertanda yang bagus, kan?
“Hoi! Bengong!” Dudy menepuk punggung gue dari belakang, dan gue nyaris jatuh
tengkurap ke depan.
“Sialan lo, ngagetin aja!” Gue mendorongnya balik, dan dia cengar-cengir.
“Dipanggil Bang Budy noh!”
“Ada apa?”
“Mana gue tahu! Udah sana cepetan, lo kan tahu dia orangnya kayak apa kalo ngadepin
orang lelet!”
Gue mengedikkan bahu, lalu berjalan menuju ruangan Bang Budy. Gue mengetok pintu
dan masuk.
“Abang manggil aku?”
“Iya. Duduk, Lan.”
Gue menurut, dan mengempaskan diri di salah satu sofa di situ. “Ada kontrak baru lagi?”
Bang Budy menggeleng. “Sebenernya Abang malu mau ngomong soal ini sama kamu.”
Gue bengong. Weitss, kenapa Bang Budy bilang gitu? Apa yang bikin dia malu untuk
ngomong ke gue? Jangan-jangan dia mau mengakui bahwa...
Hiiii... nggak deh!
“Ada apa sih, Bang?”
“Tadi Abang ditelepon Pak Leo, dia...” Gue langsung memasang telinga baik-baik. Pak
Leo adalah bos sekaligus pemilik Pro Music Indonesia, recording label tempat Skillful
bernaung. Dia nggak bakal menelepon kalau nggak ada urusan yang benar-benar gawat
darurat. Kantor Pro Music kebakaran, misalnya.
Eh nggak ding, kalau urusannya begitu, yang bakal dia telepon jelas pemadam
kebakaran, bukan Bang Budy.
“Ya?” Gue jadi nggak sabaran. Kok tumben sih Bang Budy ngomongnya kayak balita
baru belajar bicara gini? Biasanya dia kalau ngomong cas-cis-cus-pret, tanpa jeda dan
langsung, meniru istilah Tukul, tunjek poin.
To the point, maksudnyaaaa.
“Kata Pak Leo... Aduh, Dylan, ini bad news.”
Haduh, ampun deh... bad news! Sekalinya nelepon, bos besar itu malah bawa berita
buruk! Gue jadi punya firasat jelek...
“Apa penjualan album Skillful merosot? Karena... karena aku ngaku udah punya pacar?”
Gue nggak bercanda. Dalam dunia gue dan Skillful, hal kayak gitu sangat mungkin
terjadi. Seperti yang gue bilang tadi, banyak orang menganggap tabu kalau seorang personel
band ngetop mengakui statusnya udah nggak single.
Dulu, penjualan album Peterpan merosot setelah Ariel merit. Itu bukti nyata.
Tapi untunglah, Bang Budy menggeleng.
“Nggak, ini sama sekali nggak ada hubungannya sama kamu dan Alice. Penjualan album
bagus kok... bagus banget.” Sekarang Bang Budy meremas-remas tangannya dengan gelisah.
Haduh, gue jadi punya pikiran lebih buruk lagi nih kalau gaya Bang Budy udah kayak ayam
mau bertelor begini!
“Ada apa sih? Pak Leo bilang apa?”
Bang Budy kelihatannya benar-benar bakal bermetamorfosa jadi ayam petelur, karena
dia sekarang mengubah-ubah posisi duduknya. Seolah ada anak ayam yang mulai menetas di
bawah bokongnya.
“Kamu pernah dengar nama band Excuse?”
“Nggak.”
“Itu band baru Pro Music. Kata Pak Leo, mereka sangat potensial.”
“Oh, maksudnya saingan baru, gitu? Kalau itu Abang nggak usah khawatir, kita udah
punya penggemar sendiri, Bang.”
“Nggak, Abang nggak khawatir. Yang khawatir justru Pak Leo.”
“Hah? Maksudnya?” Gue jadi nggak nyambung. Kenapa tiba-tiba Pak Leo khawatir
Skillful punya saingan? Toh kami selama ini punya banyak saingan dan kami tetap baik-baik
aja.
“Mmm... Pak leo bukan khawatir sama Skillful, tapi sama Excuse.”
“Tunggu, biar aku perjelas dulu biar nantinya nggak salah tangkap. Pak Leo khawatir
sama Excuse, karena mereka band baru dan belum tentu penjualan albumnya bagus?”
“Ya.”
“Terus, apa hubungannya sama Skillful? Kita diminta bantuin mereka?”
Bang Budy kelihatan menelan ludah dengan susah payah. Perasaan gue makin nggak
enak. “Kurang-lebih... ya, seperti itu. Kita diminta bantuin mereka.”
“Bantuin bikin lagu?”
Bang Budy menggeleng.
“Membawa mereka jadi opening band kita untuk promo tur berikutnya?” tebak gue lagi.
Bang Budy, lagi-lagi, menggeleng.
“Terus apa?”
“Ehh... yah, sebenarnya kamu yang diminta bantuannya, Lan.”
“Aku?” Gue menuding muka gue sendiri. Gimana gue bisa bantuin band itu?
“Iya. Kamu diminta... membantu mereka meraih atensi masyarakat.”
“Dengan cara?”
“Mmm... membuat masyarakat tahu kalau ada band bernama Excuse.”
“Iya Bang, aku ngertiiiiii... tapi dengan cara apa?” Gue mulai nggak sabaran. Bang Budy
bener-bener aneh kalau ngomongnya belepotan begini!
“Ehh... kasarnya, kamu diminta cari masalah sama vokalis band itu, lalu apalah... yang
bisa bikin kalian berdua muncul di infotainment, lalu masyarakat akan tahu ada band yang
bernama Excuse... Tapi soal yang cari masalah itu, kalian berdua cuma sandiwara kok...”
Gue melongo dengan suksesnya! Jadi INI yang bikin Bang Budy ngomong ke sana
kemari dari tadi? Gue diminta “membawa” vokalis Excuse, dan secara tidak langsung
bandnya juga, untuk masuk infotainment???
Benar-benar gila!
“Aku nggak setuju, Bang.”
“Yah... Abang juga. Tapi Pak Leo sendiri yang minta sama kita...”
Gue jadi emosi nih kalau gini caranya! “Tapi apa Pak Leo nggak mikirin apa dampaknya
buat Skillful nanti? Apa Pak Leo nggak mikirin dampak buat aku pribadi? Katakanlah aku
terlibat tindakan pemukulan sama vokalis Excuse, apa itu nggak bikin image-ku jadi jelek?
Nggak bikin image Skillful jadi jelek?”
Bang Budy menghela napas. Seumur-umur, baru kali ini gue berani menyerocos di
depannya. Biasanya juga dia yang menyerocos di depan gue!
“Lalu...”
“Bang, Abang tahu aku nggak suka infotainment. Sebisa mungkin aku menghindar, tapi
sekarang Pak Leo begitu aja minta aku jadi... jadi tumbal supaya memuluskan jalan
Excuse?!”
“Dylan, Abang juga nggak setuju! Kamu kira Abang mau merusak image band yang
sudah Abang bentuk? Kalau kau mau tahu, dari riset label, kita adalah band paling minim
publikasi negatif!”
“Terus kenapa sekarang Pak Leo kepingin bikin kita jadi band haus publikasi? Kenapa
nggak minta vokalis band lain aja untuk main sandiwara sama vokalis Excuse? Kenapa nggak
nyuruh... nyuruh Hugo-nya eXisT aja? Dia kan suka cari masalah! Orang nggak bakal kaget
kalau dia yang muncul di infotainment!” Sekarang gue mulai adu mulut sama Bang Budy.
“eXisT bukan artis Pro Music, Lan,” kata Bang Budy, dan gue langsung memaki-maki
dalam hati. Tentu saja Pak Leo nggak bisa menggunakan artis dari recording label lain. Dia
harus menggunakan artis dari labelnya sendiri, yang kalau gue pikir-pikir, memang yang
paling cocok dijadikan boneka adalah gue.
Oh damn Sugar-honey-ice-tea!
“Kamu harus tahu, Pak Leo justru butuh oran gyang selama ini nggak pernah muncul
dalam sorotan publisitas. Orang yang kalau masuk infotainment akan bikin masyarakat kaget,
dan nggak mudah lupa...”
“Yeah, aku bakal selamanya diingat sebagai tukang jagal!” gerutuku emosi. Ini benerbener
ide tergila yang pernah kudengar.
Entah apa reaksi Alice kalau mendengar soal ini.
“Apa ada pilihan untuk menolak?” tanya gue pesimis.
“nggak ada. Kamu tahu Pak Leo. His wish is our command.”
Kayaknya gue kepingin bener-bener menghadiahi bogem mentah sama vokalis Excuse
itu. Gara-gara bandnya mau cari atensi masyarakat, gue yang jadi korban!
Gue hampir membanting pintu ruangan Bang Budy waktu dia memanggil.
“Lan, cuma mau ngingatin aja, tanggal lima belas ada MTV Awards. Kamu boleh ajak
Alice.”
Hah, kok bisa saat ada masalah gue-harus-berakting-memukuli-vokalis-band-pendatangbaru-
supaya-bandnya-dapat-perhatian-cukup begini, Bang Budy masih bisa membahas MTV
Awards?!
REGINA HELMY, JANGAN SAMPAI KAU YANG
TERPAKSA MENGOMPRES PIPIMU DENGAN ES
BATU!
ADA begitu banyak hal yang baru kusadari setelah satu tahun aku dan Dylan jadian. Ehh...
baikan. Di antaranya adalah...
1. Dylan ternyata sangaaaattt cerdas. Dulu, waktu aku masih berstatus fans Skillful, dan
beberapa kali menonton Dylan manggung, aku tahu kalau cara dia berkomunikasi dengan
audiens sangat payah. Omongannya kadang-kadang nggak nyambung, dan suka salting sendiri di
panggung. Tapi ternyata kalau aku ngobrol-ngobrol berdua aja sama dia, dia benar-benar cerdas.
Diajak ngobrol apa aja nyambung. Belum lagi otaknya yang punya daya ingat super itu.
Wawasannya juga luas. Jadi kesimpulanku: tiap kali di atas panggung pasti dia grogi, sampaisampai
omongannya suka ngawur dan melantur ke mana-mana.
2. Dylan itu jayus. Bener deh. Sering aku nggak nyadar kalau dia sedang bermaksud melucu,
dan malah menatapnya dengan ekspresi “maksud-loo?”. Hmm... mungkin itu sebabnya dia
menganggapku sangat lucu. Jelas stok lawakanku jauh lebih fresh dan nggak garing kayak dia,
haha!
3. Dylan kalau mandi lamaaaaa banget! Entah apa saja yang dilakukannya di dalam sana.
Kamar mandi, maksudku. Pernah aku sampai harus menunggu hampir satu jam di teras
rumahnya, dan Dylan belum selesai mandi juga. Mungkinkah bercukur menghabiskan waktu
lebih lama dibanding luluran?
4. Porsi makan Dylan nggak jauh beda dengan kuli pelabuhan. Aku sampai kaget
waktumakan bareng dia di Hoka-Hoka Bento, kira-kira tiga bulan setelah kami balikan, karena
dia sanggup menghabiskan porsi makan untuk tiga orang! Akibatnya, sekarang beratnya naik lima
kilo, dan banyak diprotes para fansnya. Kasihan dia... Selain aku, nggak ada yang tahu masalah
kritikan tentang berat badannya itu membuatnya cukup stres.
5. Hal yang membuat Dylan malas menyetir mobil adalah karena waktu dia pertama kali
belajar menyetir dulu, dia menabrak tong sampah tetangganya sampai ambrol, dan diminta
mengganti rugi empat ratus ribu! Hah, aku sih juga bakal trauma kayak dia kalau diminta
mengganti sebanyak itu! Tetanggaku, Bu Parno, si Mrs. Infotainment itu, seenggaknya nggak
akan minta ganti rugi sebanyak itu kalau aku menghancurkan tong sampahnya. Atau... hmm...
nggak tahu juga sih. Aku nggak pernah menabrak tong sampahnya, soalnya. Belum. Hehe.
6. Dylan bener-bener kepingin melanjutkan kuliahnya. Kalau bisa, dia malah mau
meneruskan S2. Tapi sampai sekarang jadwal Skillful masih padat, dan Dylan terpaksa memperpanjang
cuti kuliahnya.
7. Kue favorit Dylan adalah pukis. Aku nggak bercanda: P-U-K-I-S. Kalau ada donat J.Co
dan pukis di depannya, lalu dia disuruh memilih, aku berani bertaruh kalau dia akan memilih
pukis. Kamu nggak bakal percaya sebelum melihatnya sendiri.
8. Jangan pernah mengajak Dylan bicara saat dia baru bangun tidur dan belum minum kopi.
Dalam kondisi seperti itu, kalau kamu meneleponnya untuk minta jemput di PIM, dia akan
menjemputmu ke Plaza Senayan. Aku pernah mengalaminya. Jangan tertawa.
9. Dylan itu orangnya sangat pengalah. Sama sekali nggak egois, sampai-sampai aku merasa
nggak enak karena sering mau menang sendiri. Termasuk untuk menentukan film apa yang akan
kami tonton kalau ke bioskop. Dia berkali-kali mengalah untuk nggak nonton The Bourne
Ultimatum atau Die Hard 4.0 karena aku memaksanya nonton Selamanya dan Harry Poter and the
Order of the Phoenix.
Di luar semua itu, banyaaakk sekali yang berubah dalam hidupku. Termasuk bertambahnya
gelarku sebagai psikolog amatir free charge, karena fans-fans Skillful yang kukenal sekarang sering
banget menelepon atau SMS untuk curhat masalah-masalah pribadi mereka. Padahal ada lho yang
sudah anak kuliahan, yang notabene lebih tua dari aku dan harusnya bisa lebih dewasa dalam
menyikapi masalahnya, tapi malah minta saran dariku.
Tapi aku menikmati semuanya.
Kecuali saat-saat di mana gerombolan wartawan infotainment mengintilku dan Dylan ke mana
pun, itu sangat menyebalkan. Bagaimana caranya pacaran kalau dilihatin begitu banyak orang,
plus disorot kamera, plus bakal jadi tontonan jutaan penikmat infotainment se-Indonesia?
Aku nggak akan bangga seandainya pagi-pagi saat aku mau berangkat sekolah, Bu Parno
muncul di teras rumahnya dan bilang, “Lice, saya lihat kamu lho di infotainment kemarin sore.”
Percayalah, itu pertanda bahwa namaku akan disebut-sebut setidaknya seratus kali dalam
arisan PKK selanjutnya.
* * *
“Aku nggak mau makan sushi lagi,” kataku begitu Dylan bilang dia lapar. Dylan tertawa geli.
“Aku nggak bilang kalau mau makan sushi kok,” katanya sok ngeles. “Kita makan pizza aja,
yuk?”
Aku mengangguk. Whatever lah, asal bukan sushi lagi. Aku nggak sanggup membayangkan
harus mengulang skenario menelan salmon mentah kemarin.
Dylan menggandengku menuju Pizza Hut. Seperti biasa, orang-orang yang kami lewati
menatap kami dengan tatapan ohh-ada-seleb-lewat. Bahkan ada dua cewek yang memberanikan
diri menyapa Dylan dan mengajaknya foto bareng, biarpun suara mereka bergetar saking
groginya saat bicara. Haha, kalau aku melihat fans-fans seperti ini, aku jadi teringat masa lalu, saat
aku begitu groginya untuk bicara pada Dylan.
Kami sudah sampai di depan Pizza Hut, dan hampir saja masuk waktu seseorang
memanggil.
“Dylan!”
Spontan kami berhenti, dan aku menoleh melihat siapa yang memanggil itu.
O-em-ji.
Regina Helmy!
Damn, kenapa dari sekian banyak mal di Jakarta, dia memilih datang ke mal ini dan
berpapasan dengan aku dan Dylan? Dan dilihat aslinya, ternyata dia jauuuhh lebih cantik daripada
di TV. Tinggi langsing, dengan pakaian modis, yang aku yakin kulihat minggu lalu di etalase
ZARA, menempel di badannya. Ohh, dan tasnya pun Anya Hindmarch! Dan dia pakai boots yang
keren banget! Apakah itu... Jimmy Choo yang terbaru???
“Hai, Gin!” sapa Dylan sambil, entah mataku salah lihat atau apa, tersenyum sumringah.
Gin? Oh ya, Gin dari Gina. Gina dari Regina. Hmm... tidakkah terdengar terlalu akrab?
Semacam panggilan... sayang?
Heh... nggak, aku nggak boleh mikir yang aneh-aneh!
“Hai!” balas Regina sambil tersenyum lebar. Gigi-giginya rapi sekali, dan putih bersih. Entah
seberapa sering di-bleaching. Dan entah kenapa aku juga setengah berharap akan menemukan cabe
nyelip di sana. Itu akan membuatnya sedikit manusiawi, kecantikannya terlalu mirip bidadari,
bikin aku minder saja!
Sayang sekali nggak ada cabe nyelip di giginya.
“Sama siapa?” tanya Regina.
“Ini, sama cewek gue.” Dylan menunjukku yang ada di sebelahnya.
Regina, dengan kurang ajarnya, celingak-celinguk, seolah dia nggak percaya akulah yang
dimaksud Dylan sebagai ceweknya! Sialan!
“Oh,” katanya akhirnya, saat tatapannya berhenti padaku. “Ini cewek lo?”
“Ya. Namanya Alice. Alice, Regina. Regina, Alice,” Dylan saling mengenalkan kami. Mau
nggak mau aku menjabat tangan Regina, yang benar-benar halus bak sutra. Padahal tadi aku
berharap tangannya kapalan atau berkutil. Sayang sekali, harapanku lagi-lagi nggak terkabul.
“Eh, Lan, pipi lo masih merah...” Regina melepaskan tangannya dari jabatanku dan...
menyentuh pipi Dylan! Di depanku!!!
Dobel kurang ajar! Berani-beraninya! Apa dia sama sekali nggak memandangku???
Helooooo... aku ini pacarnya Dylan!
“Ng... nggak, udah nggak papa kok,” kata Dylan dengan nada suara yang aneh, jelas dia
merasa risih pipinya disentuh Regina begitu!
Atau dia malah... grogi?
“Sori ya waktu itu gue bego banget sampai harus take berulang kali,” kata Regina sambil
tertawa kecil. Tawanya halus sekali, seperti dilatih di sekolah kepribadian. Sangat bertolak
belakang dengan cara tertawaku yang bercampur antara ngakak dan mendengus.
“Ah, nggak papa, toh akhirnya beres juga tu video klip,” Dylan cengengesan.
“Habisnya... gue grogi sih kalau di depan lo,” kata Regina pelan, tapi membuatku serasa baru
dipaksa menelan sebaskom Salmon Takamaki. Tanpa wasabi dan kecap asin.
Ini orang sengaja manas-manasin aku, atau dia memang lagi flirting sama Dylan???
“Ah, lo bisa aja. Gue bukan siapa-siapa lagi, kan lo yang model dengan nilai kontrak
termahal se-Indonesia.”
Ya ampun. Sekarang mereka malah saling memuji! Dan aku terlupakan!
“Nilai kontrak nggak menjamin kualitas, Lan,” kata Regina lagi, dan dengan segenap jiwa
aku mengaminkannya dalam hati. Yeah, dia boleh saja berbandrol paling tinggi se-Indonesia, tapi
di mataku dia sangat norak! Nggak berkualitas, huh!
“Eh, gue pamit dulu ya, mau ada pemotretan. Takut kena macet di jalan.” Dia melirik
arlojinya, dan aku samar bisa melihat huruf G besar terpampang di sana.
Ah ya, aku lupa dia spokeperson untuk merek arloji itu di Indonesia. Mungkin dia otomatis
mendapat suplai produk arloji keluaran terbaru merek itu setiap bulan.
“Lho, nggak mau gabung sama kita?” tanya Dylan sambil menunjuk pintu masuk Pizza Hut,
yang membuatku melotot saking kagetnya. Dylan mengajak Regina gabung sama kami???
“Sori, Lan, gue nggak bisa. Ada pemotretan, dan gue harus ngurusin badan lagi nih, minggu
depan gue ikut rombongan Anne Avantie ke State, ada undangan fashion show di sana.”
Huh! Ingin rasanya aku mengucapkan “minggu-depan-gue-juga-ikut-rombongan-Donatella-
Versace-ke-Planet-Mars-ada-undangan-fashion-show-di-sana”!
“Ohh, ya udah. Good luck deh buat kerjaan lo.”
“Oke. Ntar pipi lo kompres pake es batu gih, biar hilang merahnya,” kata Regina sambil,
sekali lagi, menyentuh pipi Dylan!
Kalau dia nggak segera cabut dari sini, dia yang akan kubuat terpaksa mengompres pipi
dengan es batu nanti malam!
Regina ber-dadah ria pada Dylan (kelihatannya dia sengaja berpura-pura aku nggak ada di
sebelah Dylan), kemudian berlalu pergi. Dylan menggandeng tanganku lagi dan kami masuk ke
Pizza Hut.
Sampai pesanan kami datang, aku masih merengut bete.
“Kok kamu nggak makan?”
Aku makin manyun. “Nggak! Minggu depan gue ada show Anne Avantie di State! Harus
ngurusin badan!”
Alis Dylan terangkat sebelah, lalu dia terpingkal-pingkal.
“Kamu marah ya sama Regina? Gara-gara dia menyentuh pipiku tadi?”
Aku membuang muka. Ternyata aku keliru menilai Dylan cerdas! Buktinya, untuk
pertanyaan yan gudah jelas jawabannya gitu aja, dia masih nanya!
“Cieee... yang lagi cemburu,” Dylan menggodaku, tapi aku tetap buang muka. Biar aja sekalisekali
dia tahu rasanya dicuekin! Suer, aku kesel banget tadi sepanjang dia ngobrol sama Regina!
Aku merasa... minder. Dan terintimidasi. Hanya dengan kehadiran seorang Regina Helmy.
“Jangan gitu, Say. Aku nggak ada apa-apa kok sama Regina. Di video klip sekalipun, adegan
kami nggak ada yang berhubungan sama mesra-mesraan. Klip itu kan isinya tentang cewek sama
cowok yang berantem melulu.”
Kayaknya aku mulai melunak. Iya ya, urusan Dylan dan Regina kan cuma di syuting video
klip itu saja, dan kalau video klip itu sudah selesai, berarti mereka nggak akan beruruan lagi. Done.
“Yahh...,” kataku akhirnya, setengah merengek, “wajar kan kalau aku khawatir kamu
kecantol cewek macam Regina. Dia kan cantik, langsing, modis, model top pula...”
“Say, aku tuh cari pacar yang bisa bikin aku merasa there’s no one else I’d rather spend my time
with. Yang kalau aku nggak ketemu dia sehariii aja, aku bisa kangen setengah mati. Pacar yang
mau diajak makan Pizza Hut bareng, bukannya yang menolak dengan alasan dia diet karena
minggu depan ada undangan fashion show.”
Aku menelan ludah. Ah, memang aku sering sekali jadi childish dan konyol begini. Dan
hebatnya, Dylan selalu bisa menghadapi aku dengan tenang.
Kok dia masih bisa tahan juga ya sama aku??
“Tapi... tapi... kenapa dia pegang-pegang pipimu segala?” tanyaku tergagap. Aku jadi malu
sudah ngambek, tapi gengsi dong kalau ngaku!
“Regina emang orangnya gitu, suka SKSD.” Dylan nyengir dan aku merasa senang melihat
ada satu poin negatif Regina di mata Dylan. Seperti yang kubilang sebelumnya, satu poin jelek
akan membuat cewek itu terlihat sedikit manusiawi.
“Berarti kamu nggak suka, kan... nggg... digituin?”
“Digituin gimana? Dipegang-pegang pipinya? Ya nggak sukalah, Say... sebel banget!”
“Oohh...”
“Tapi aku kasihan sama Regina.”
“Heh? Kenapa?” Menurutku, nggak ada satu hal pun dari Regina yang bisa membuat orang
mengasihaninya. Apa coba yang harus dikasihani? Cantiknya selangit, karier sukses, dan penghasilannya
pasti berlimpah.
“Cowoknya kan meninggal beberapa bulan lalu. Narkoba.”
Aku menggigit bibir. Aku sama sekali nggak tahu tentang itu. Secara, aku bukan penggila
infotainment kayak Bu Parno.
Dan yah... mungkin itu sebabnya Regina sengaja memanas-manasi aku dengan SKSD sama
Dylan tadi. Mungkiiiin dia iri aku masih punya Dylan, sementara dia kehilangan cowoknya.
Kok aku jadi kasihan juga ya, sama dia? Jadi prihatin. Hmm...
“OH iya, Say, aku mau kasih tahu kamu sesuatu nih.”
“Hmm?”
“Tanggal lima belas nanti nggak ada acara, kan? Nggak ada jadwal ulangan juga?”
Aku mengerutkan kening. Memangnya ada apa Dylan tanya kayak gitu?
“Bentar, coba kuingat-ingat dulu...” Aku memutar otak. “Kayaknya nggak ada deh, kenapa
emangnya?”
“Mau ikut ke MTV Awards nggak?”
“HAH??!”
“MTV Awards,” ulang Dylan. “Kan Skillful masuk nominasi, jadi aku sama anak-anak
semua bakal dateng. Nah, Rey, Dovan, Ernest, sama Dudy berencana ngajak istri masing-masing.
Dan aku jelas nggak mau menghabiskan semalaman duduk garing di sebelah Bang Budy. So,”
Dylan tersenyum, “would you like to accompany me?”
Kayaknya menu sarapan yang kumakan tadi pagi (roti panggang dan telur mata sapi) jungkirbalik
di dalam perutku. Seolah gerak peristaltik nggak lagi manjur untuk mengolah mereka
menjadi energi, jadi mereka memutuskan untuk berakrobat sendiri di lambung dan usus-ususku.
“Maksudnya nanti... aku bakal duduk di sebelahmu sepanjang acara itu, gitu?”
Dylan nyengir. “Kecuali kamu lebih suka duduk di sebelah Bang Budy.”
“Dylan, aku serius! Aku nggak pernah ikut acara-acara kayak gitu! Apalagi...”
Aku menyumpah-nyumpah dalam hati. Ya ampuun, acara macam itu kan pasti ada red carpet
session-nya! Belum lagi, bakal ada para VJ MTV yang jadi fashion police, yang bakal mencari tahu
dari mana asal-usul gaun, jas, baju, dan sepatu orang-orang yang lewat di situ!
Aku ingat, tahun lalu, Titi Kamal datang sambil menggandeng Christian Sugiono di MTV
Awards, dan saat ditanya gaun, clutch, dan stiletto-nya dibeli di mana, dia menyebutkan Gucci,
Guess?, ZARA. Berapa budget yang dia habiskan? Sepuluh jeti. Lebih dikit.
Entah berapa yang dia maksud dengan “lebih dikit” itu.
Kalau aku setuju untuk menemani Dylan ke sana, aku harus pakai baju apa??? Aku jelas
nggak punya budget “sepuluh juta lebih dikit” seperti Titi Kamal!
“Sayaaang, helooo...? Kok ngelamun?”
Aku menggeleng beberapa kali, berusaha mengusir bayangan Titi Kamal dari benakku.
“Mmm, Lan, aku nggak tahu apa aku pantas datang di acara kayak gitu.”
“Apa kamu pantas? Ya pantas dong! Kenapa kamu mikir kayak gitu?”
“Aku...” Ah, nggak lucu kalau aku bilang aku nggak punya baju yang pantas untuk datang ke
acara itu. Bisa-bisa nanti Dylan mengira aku minta dibelikan baju!
Yeah, aku tahu dengan sekali manggung dia bisa membelikanku segala macam yang dipakai
Titi Kamal tahun lalu itu, tapi itu kan gila sekali!
“Aku... mmm... aku takut bikin kekacauan di sana.”
Dylan bengong. “Kekacauan? Kamu... nggak berencana bawa bom kentut atau apa, kan?”
“Aduh, ya nggak laaaaahhhh! Maksudku, aku takut kalau nanti tingkahku di sana ada yang
konyol, dan ujung-ujungnya malah bikin kamu malu...”
Nah, itu alasan yang cukup brilian untuk dipikirkan dalam waktu beberapa detik.
“Nggak usah mikir kayak gitu, kamu nggak bakal bikin aku malu kok. Aku malah bangga
banget kalau bisa datang sambil menggandeng kamu. Ikut, ya?”
Oh, sudahlah. Memangnya aku bisa bikin kekonyolan apa sih di sana? Dan mungkin aku bisa
memikirkan soal baju nanti. Ini toh masih tanggal satu. Masih ada waktu dua minggu untuk
memutar otak.
GARA-GARA GUE
GUE nggak tega cerita sama Alice tentang obrolan gue dan Bang Budy waktu itu. Dia pasti
bakal bingung banget kalau gue cerita, dan gue nggak mau menambah beban pikirannya.
Alice itu orangnya suka kepikiran kalau ada masalah.
Nah, sebagai gantinya, gue malah mengajak dia ke MTV Awards. Dia sempat nggak
mau, katanya dia merasa nggak pantas datang ke acara semacam itu. Yang bener aja, Babe,
nggak ada yang lebih pantas datang bareng gue ke acara itu selain lo.
Hmm, tapi tampaknya ajakan menemani gue ke MTV Awards juga membuatnya
kepikiran. Kadang-kadang gue berpendapat Alice seharusnya menjalani hidupnya dengan
lebih santai. C’mon, she’s not even seventeen yet! Kalau nggak berhenti mengkhawatirkan
segala sesuatu, dia bakal cepat tua.
REFERENSI : http://baca-novelnya.blogspot.co.id/2012/06/dear-dylan.html
“GRRRRRR... ke mana sih dia?!”
Aku mengentak-entakkan kaki dengan kesal sambil berjalan mondar-mandir di depan Sushi
Tei. Penerima tamu Sushi Tei yang berdiri di dekatku kayaknya sebentar lagi bakal membunuhku
dengan tatapannya kalau aku nggak cepat-cepat pergi dari sini. Dari tadi dia memelototiku terus!
Dengan napas setengah tertahan, aku melirik jam yang terpampang di layar HP-ku. Pukul
19.30. Dua jam aku menunggu, dua jam!!!
Dan dia selalu nggak bisa ditelepon kalau ngaret begini! Benar-benar kebiasaan jelek yang
baru kutahu setelah kami jadian. Ganteng-ganteng ternyata suka ngaret, suka sok kagak
mengangkat HP-nya pula kalau ditelepon, huh!
Aku mencoba menarik napas dalam-dalam. Oke, there’s always sunny side in everything, Alice.
Mungkin dia terpaksa mengulang adegan di video klipnya sampai beberapa kali karena model
untuk video klip itu begitu idiotnya hingga tak tahu bagaimana cara memeluk yang benar, dan
take peluk-memeluk itu harus diulang...
Take peluk-memeluk? Harus diulang?
“Grrrrrr...!” Aku mengertakkan gigiku sekali lagi. Menunggu dua jam sambil mondar-mandir
kayak setrika begini sudah cukup membuatku kesal, seharusnya aku nggak perlu membayangkan
cowokku, yang vokalis band terkenal itu, terpaksa mengulang adegan peluk-memeluk dengan
model video klipnya yang idiot!
Atau malah model itu begitu PINTARnya, sampai dia bisa berpura-pura bodoh dalam
adegan peluk-memeluk, dan dengan begitu bisa mengulang adegan itu berkali-kali???
Awas nanti kalau dia DATANG!
“Sayang!”
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membalikkan tubuh. Dan dengan radar
yang sudah terlatih, aku bisa merasakan orang-orang di sekitarku sudah membeku di tempat
mereka masing-masing.
“Dylan...,” geramku jengkel melihat dia cengengesan, tapi amat sangaaaattt ganteng dalam
long-sleeve putih dan celana jins abu-abunya.
Kebekuan di sekitarku makin terasa menusuk. Aku bisa merasakan tatapan mata banyak
orang menghunjam pada kami.
Yeah, pacarku ini seleb. Sangat sulit jalan bareng dia tanpa dilihatin begitu banyak orang.
Tapi yah... sekarang aku sudah mulai terbiasa.
“Ah, kamu pasti udah lapar ya, sampai memanggilku Dylan begitu?” tanyanya, masih sambil
cengar-cengir.
Memangnya aku masih bisa memanggilnya “Say” setelah aku terpaksa ngetem di sini
menunggu dia, heh? “Aku nungguin kamu DUA JAM, tau! Dua jam!”
“Iya, iya, Say... Maaf yaa... Tadi syuting video klipnya kacau berat sih! Nggak tau deh model
dari agensi mana yang dipilih Bang Budy, dia bego banget sampai adegannya harus diulang
melulu...”
Serasa ada yang menabuh genderang perang di dadaku mendengar omongan Dylan barusan.
Berarti memang benar model video klip Skillful pura-pura bodoh supaya dia bisa mengulang...
“Kalian retake adegan pelukan terus, ya?” tanyaku akhirnya, nggak tahan kalau harus
bertanya-tanya tanpa henti dalam hati.
Dylan kelihatan bingung. “Adegan pelukan? Kok adegan pel...”
“Bukan? Terus apa? Adegan ciuman? Kalian retake adegan itu terus, ha?!”
“Eh, Say, kayaknya kamu harus...”
“Apa? Aku harus apa? Harus sabar? Kuulangi ya, aku DUA JAM menunggumu di sini, dan
yang kamu lakukan malah retake adegan ciuman sama model bego dari agensi tolol???” Aku,
entah dapat energi dari mana, menyerocos tanpa henti. Sebodo amat kalau dilihatin orang!
Dylan menatapku lurus-lurus selama beberapa detik, lalu meledak tertawa. Orang-orang yang
tadinya memandangi kami karena Dylan seleb, sekarang, aku yakin, memelototi kami, karena
Dylan yang seleb sedang bertengkar dengan ceweknya yang setengah bule dan overhisteris.
“Say, dari mana kamu dapat pikiran aku retake adegan pelukan dan ciuman sama si...”
“Terus apa, ha?”
Dylan tersenyum. “Mau jawaban jujur?”
“Coba saja bohong,” kataku marah, “dan aku akan bilang ke Tante Ana kamu bikin aku
kesal!”
Pipi Dylan berkedut sedikit, aku yakin dia pasti nggak mau mengambil risiko itu. Tante Ana,
mama Dylan, amaaaaat sangaaaaat menyayangiku, seolah aku anaknya sendiri. Mungkin dia bakal
lebih marah kalau mengetahui Dylan membuatku menunggu dua jam daripada mengetahui
akulah yang tanpa sengaja menginjak pot bunga mawar beliau di kebun rumahnya saat aku ke
sana minggu lalu.
Bukannya aku menyembunyikan “aib” kecilku itu, tapi...
“Adegan yang terpaksa di-retake terus,” kata Dylan sambil memegang bahuku, “bersama
orang yang kamu sebut model-bego-dari-agensi-tolol itu, adalah adegan tampar-menampar.”
Ha! Dia mau coba ngibul rupanya! Apa yang sulit dari adegan tampar-menampar? Aku, yang
bukan model video klip saja, pasti sukses melakukannya dalam sekali take! Lain kalau adegan
ciuman! Di film Harry Potter and the Order of the Phoenix, Daniel Radcliffe dan Katie Leung harus
mengulangnya 27 kali!!!
Oh tidak, 27 kali...?
Kalau Dylan berani-berani...
“Nih, kalau nggak percaya, pegang aja pipiku,” kata Dylan sambil meraih tangan kananku
dan menuntunnya ke salah satu pipinya.
Aduh, pipinya haluuuuss sekali. Dia pasti baru bercukur tadi, aroma aftershave-nya...
“Si model bego dari agensi tolol itu,” kata Dylan lagi, “harus TUJUH kali menamparku
supaya Bang Budy puas dengan hasil gambarnya. Di take pertama, dia terlalu nervous. Take kedua,
dia menamparnya nggak serius. Take ketiga, dia kelihatannya nggak tega menamparku lagi. Take
keempat...”
“Oke, oke, aku percaya,” kataku sambil menahan tawa. Memang kalau diamati betul-betul,
seperti ada memar merah di pipi Dylan, yang, kalau diamati dengan lebih saksama lagi,
menyerupai bentuk telapak tangan manusia.
“Gitu dong,” kata Dylan sambil mengacak rambutku sayang. “Yuk masuk.”
Dylan menggandengku memasuki Sushi Tei, dan si penerima tamu di depan sana
terlongong-longong begitu mengetahui siapa yang membuatku mondar-mandir di depan restoran
tempatnya bekerja selama dua jam tadi. Mungkin dalam hatinya dia bersyukur nggak mengusirku,
karena kalau iya, mungkin dia seumur hidup nggak akan punya kesempatan lagi untuk melihat
Dylan hanya berjarak setengah meter darinya.
“Say, pesan apa?”
Aku membolak-balik buku menu dengan tampang bloon. To be honest, aku nggak suka sushi.
Yah, nggak pantang-pantang banget sih. Aku cukup suka dragon roll, juga shrimp ‘n cheese, tapi itu
pun yang biasa kumakan di bistro sushi milik teman kakaknya Grace, yang adalah sobat kentalku.
Aku nggak berani ambil risiko untuk mencoba menu yang sama juga di sini, siapa tahu rasanya
beda. Lidahku agak rewel kalau menyangkut sushi.
“Ehm, maaf, tapi Mas ini Dylan-nya Skillful, ya?”
Aku mendongak mendengar pertanyaan itu, dan melihat waitress Sushi Tei sedang menatap
Dylan dengan jenis tatapan omigod-ada-seleb-di-depan-gue!, dan dia tampak amat sangaaattt
terpesona. Dylan, sementara itu, mengangguk dengan refleks. Cara mengangguk yang kentara
sekali sudah terlatih. Bukan jenis anggukan yang terlalu sombong, tapi bukan juga yang terlalu
riang gembira, yang membuatnya terlihat terlalu antusias karena ada yang menyadari dia seleb.
“Waaaahhh!” seru waitress itu bersemangat. “Maaf kalau saya mengganggu, tapi saya boleh
minta tanda tangannya? Boleh foto bareng?”
Dylan, sekali lagi, mengangguk. Cara mengangguknya... yah, seperti yang kujelaskan tadi.
“Di mana saya harus tanda tangan?”
Si waitress tergopoh-gopoh mencari media kosong yang bisa dipakainya untuk mendapatkan
tanda tangan Dylan, dan akhirnya dia menyodorkan sehelai kertas putih dengan bolpoin. Dylan
menandatanganinya, lalu mengembalikan kertas itu, bonus senyum.
“Ehh... foto barengnya?”
“Boleh,” kata Dylan lagi.
Si waitress mengeluarkan HP-nya dari dalam saku, lalu tampangnya berubah bingung karena
tak tahu bagaimana harus memotret dirinya dan Dylan bersama-sama.
“Sini, Mbak, saya aja yang fotoin,” kataku menawarkan diri, dan si waitress kelihatan seolah
dia baru dikabari akan naik gaji.
“Aduuuhh, makasih sekali ya, Mbak,” katanya dengan nada puja-puji. “Boleh saya minta
foto dua kali?”
Aku mengangguk. Bonus senyum. Dua kali flash menyala, dan kukembalikan HP itu kepada
pemiliknya.
“Aduh, makasih ya, Mas Dylan, Mbak... ngg...”
“Alice,” Dylan melanjutkan, “dia pacar saya.”
Aku harus mengakui dengan malu bahwa sampai sekarang, aku masih sering terlongong saat
Dylan memperkenalkanku sebagai pacarnya di depan orang lain. Tahun lalu, kami harus total
menyembunyikan hubungan kami karena...
Yah, sudahlah, pokoknya aku senang karena sekarang aku dan Dylan bisa go public tanpa ada
ancaman dari pihak mana pun.
“Ah iya, Mbak Alis!” kata si waitress dengan nada sok tahu. Aku ingin membetulkan caranya
menyebutkan namaku, yang seharusnya “Ellys” dan bukannya “Alis”, tapi biar sajalah. Namaku
memang selalu terpeleset di lidah orang Indonesia.
“Nah, Say, pesan apa?” Dylan mengulangi pertanyaannya beberapa menit lalu.
Aku membolak-balik buku menu sekali lagi, dan berusaha memilih satu di antara jajaran foto
sushi itu yang kelihatannya-akan-oke-berada-dalam-perutku.
Aha, ini dia! Baked Salmon Takamaki! Kelihatannya enak!
“Salmon Takamaki-nya satu, Mbak,” kataku sok ahli, seolah itulah makanan yang selalu
kupesan kalau aku datang ke Sushi Tei.
“Salmon Takamaki satu. Minumnya?”
“Ngg... orange juice deh.”
“Orange juice satu, oke. Mas Dylan pesan apa?” Dia beralih menatap Dylan dengan tatapan
amat sangaaatt terpesona yang tadi lagi, dan kali ini aku tersenyum geli sendiri.
Aku yang dulu menatapnya dengan jenis tatapan seperti itu... Aku yang, sampai sekarang,
setelah setahun berlalu, masih nggak percaya aku bisa pacaran dengan Dylan, yang dipuja-puji
sebegitu banyak cewek di Indonesia. Tuhan sudah begitu baik padaku...
“Inari-nya dua. Chuka Kurage satu. Sama Chicken Katsu deh.”
Si waitress mengulangi pesanannya, dengan berlambat-lambat (mungkin dia berharap bisa
selamanya mencatat pesanan Dylan, hehe), lalu pergi meninggalkan kami berdua.
“Aku curiga,” kata Dylan.
“Apa? Kalau waitress tadi naksir kamu? Aku nggak kaget.”
“Haha, Say, akhir-akhir ini sarkasmemu sedang tinggi, ya? Dapat tugas bahasa Inggris
menulis drama satir lagi?” godanya.
Aku cemberut. Ini karena aku kadang nggak tahan dengan segala tekanan menjadi pacar
seleb, dan mood-ku jadi nggak keruan karenanya. Sedikit happy, lalu jadi supercemburuan, terlalu
curiga, dan kembali tenang. Aku jadi bingung kenapa Dylan nggak mengalami hal yang sama, ya?
Ah iya, yang seleb kan dia. Jelas dia nggak merasakan stresnya punya pacar seleb.
“Hmm, atau kamu lagi PMS? Pengin Marah Selalu?” Dia menggodaku lagi.
“Nggak!” seruku malu. Ngapain sih dia menyinggung-nyinggung soal PMS segala?
Eh, tapi dia betul-betul mengingat omongan ngawurku, bahwa aku mendefinisikan PMS
bukan hanya dengan Pre-Menstrual Syndrome, tapi juga dengan Pengin Marah Selalu. Dasar
Dylan, pantas aja dia masuk fakultas hukum, otaknya Pentium Intel Core Duo 2 begitu.
“Bener nih? Kok kayaknya kamu lagi senewen gitu? Mau aku pesankan es krim?”
Ah, lagi-lagi dia ingat kalau cuma es krim lah yang bisa menenangkan emosiku saat PMS atau
mood kacau-balau. Dia ini benar-benar pacar yang baik, tahu nggak? Hafal apa saja kesukaanku,
pacarnya yang aneh ini.
“Nggak usah, aku nggak papa kok. Lagian di sini bukan Häagen-Dazs, nggak jual es krim.”
Dylan tersenyum geli. Entah kenapa, dia sepertinya selalu menganggapku cewek yang sangat
lucu. Padahal aku jelas-jelas clumsy. Kikuk. Canggung. Tak bisa menempatkan diri. Hanya
beruntung saja jadi pacarnya.
“Kamu mau ngomong apa tadi?” tanyaku akhirnya.
“Apa? Es krim?”
“Bukaaann. Yang soal curiga-curiga tadi itu lho. Kamu curiga apa?”
“Oohh... aku curiga, model video klip tadi sengaja dipilih Bang Budy untuk balas dendam
sama aku.”
“Balas dendam? Emang kenapa? Modelnya siapa?” Tak urung aku penasaran juga, kepingin
tahu siapa model yang dibayar untuk menampar cowokku, walau hanya dalam video klip.
“Regina Helmy.”
Aku melotot. “Regina Helmy...? Kakaknya Anastasia?”
Dylan mengangguk, sementara aku memutar otakku yang pas-pasan. Anastasia yang kusebut
tadi Anastasia Helmy, presenter reality show Pacar Selebriti, acara TV yang membuatku bisa dekat
dengan Dylan sampai akhirnya jadian. Aku merasa, entah bagaimana, berutang budi pada acara
yang satu itu. Dan secara tak langsung, pada Anastasia juga.
Dan soal Regina, hmm... dia model yang sangat top belakangan ini. Berbeda dengan adiknya
yang presenter, dia berprofesi sebagai model, merangkap bintang iklan. Hebatnya lagi, iklan yang
dibintanginya sebagian besar iklan kosmetik. Entah cleansing foam, moisturizer, krim malam,
pokoknya jenis-jenis iklan yang menuntut para modelnya memiliki kemulusan wajah mutlak.
Teknik-teknik “penyempurnaan” via komputer tidak akan terlalu berhasil, kalau modelnya nggak
memang berwajah mulus dari sononya.
Dan aku tadi menyebut Regina apa?
Yep. Model bego dari agensi tolol.
Oohh, mungkin aku yang akan dikontrak oleh Glamour Models, agensi si Regina itu, kalau
saja gen Kaukasia-ku dari Daddy ada lebih banyak, dan tinggiku mencapai 175 cm, bukannya
pendek begini.
Yah, Glamour Models adalah agensi yang mengontrak model-model paling top se-
Indonesia. Mau cari yang paling cantik? Ada. Yang paling seksi? Ada. Yang paling fabulous,
eksotis, komersil, sampai yang punya nilai kontrak termahal di Indonesia, semuanya terdaftar di
bawah manajemen mereka. Hanya model-model berkualifikasi tinggi yang ada di bawah payung
Glamour Models. Dan Regina Helmy adalah “aset” mereka yang utama.
See? Cowokku menghabiskan seharian untuk syuting video klip dengan model bernilai
kontrak termahal se-Indonesia! Pantas saja, dia membuatku menunggu dua jam, walaupun untuk
itu dia harus ditampar tujuh kali oleh Regina, yeah.
“Ini semua pasti akal-akalan Bang Budy! Dia kepingin balas dendam karena bulan lalu aku
sama anak-anak ngerjain dia pas ulang tahun! Dia pasti belum bisa menerima tumpahan telur
busuk di atas kepalanya begitu membuka pintu!” Dylan ngoeml-ngomel, mengemukakan
kecurigaannya.
“Mmm, Say, aku nggak ngerti kenapa Bang Budy mengontrak Regina Helmy untuk jadi
model video klip Skillful kalau dia memang berniat balas dendam sama kamu. Kalau dia memang
berniat balas dendam, yang akan dia kontrak pastilah... Mpok Atiek.”
Dylan mengerjap, dan untuk kedua kalinya hari ini, dia meledak dalam tawa.
“Alice sayang, kamu lucu banget! Hahahaha...” Dia masih terbahak sampai pesanan kami
datang. Si waitress sepertinya masih betah berlama-lama di meja kami, jadi aku menunggu dia
pergi dulu sebelum melanjutkan obrolanku dengan Dylan.
“Lho, aku benar, kan? Kalau dia memang mau balas dendam, ngapain dia kontrak model
paling top di Indonesia? Bukannya lebih baik ditampar berkali-kali oleh Regina Helmy daripada
Mpok Atiek?”
“Hahahaha... masalahnya bukan di Regina atau Mpok Atiek-nya! Masalahnya ada di adegan
tampar-menampar itu! Aku curiga, Bang Budy sengaja menyuruh Regina untuk nggak serius, jadi
dia bisa menamparku berkali-kali dalam syuting itu, untuk melampiaskan dendam Bang Budy!”
Aku melongo. “Hah, yang bener aja!”
“Seriuuuss! Kamu sih nggak lihat ekspresi Bang Budy tadi! Biasanya dia sewot banget kalau
ada adegan klip yang harus diulang, katanya buang-buang waktu yang berharga. Tapi tadi, dia
malah tersenyum-senyum puas waktu adegan Regina menampar aku!”
Aku menggeleng tak percaya. Bang Budy, manajer Skillful yang galaknya ngalah-ngalahin
herder itu, bisa iseng juga? No way!
“Eh, udahlah, kita makan yuk!” Dylan mengedik ke pesanan kami yang sudah tertata di
meja, dan aku mengangguk.
Di mana Salmon Takamaki-ku ya? Hmm...
Aku menatap satu per satu piring sushi yang ada di meja, dan mengernyitkan dahi. Kok
nggak ada satu pun yang mirip dengan Salmon Takamaki yang fotonya ada di buku menu tadi?
“Peasananmu udah datang semua?” tanyaku ke Dylan. Dia mengangguk, dan menunjuk
piring-piring yang merupakan pesanannya.
“Ini Inari, enak deh, Say! Terus ini Chuka Kurage... ini Chicken Katsu... Kamu pesen apa?”
Aku semakin bingung. Hanya tersisa satu piring yang tidak diklaim Dylan sebagai
pesanannya, dan aku sama sekali nggak melihat kemiripan sushi yang ada di piring itu dengan foto
Salmon Takamaki yang kulihat di buku menu tadi.
“Pesanan yang datang salah, ya?” tanya Dylan lagi.
Aku mengangkat bahu. “Yang ini kok nggak mirip pesananku?” tanyaku, lebih kepada diri
sendiri, sambil menunjuk piring sushi-tak-dikenal itu.
“Hmm... coba lihat order list-nya dulu, barangkali waitress-nya tadi salah catat pesananmu.”
Oh ya, betul juga! Bisa jadi si waitress sengaja salah menghidangkan pesanan supaya dia bisa
kembali ke meja ini dan memandangi Dylan lagi.
Dylan mengambil kertas print-out komputer yang ada di sebelah kirinya, dan mengamati
tulisan yang tercetak di situ.
“Kamu pesan Salmon Takamaki?”
“He-eh.”
“Ya berarti bener ini pesananmu.” Dylan menunjuk piring sushi-tak-dikenal itu lagi. “Ini
Salmon Takamaki.”
“Ah, nggak mirip sama foto yang di buku menu!” gerutuku. Dylan jadi ikut bingung.
Dan mendadak aku sadar apa yang salah. Cepat-cepat kuambil buku menu yang masih ada di
dekatku, dan membolak-baliknya.
Yang kupesan tadi... benar Baked Salmon Takamaki, dan fotonya benar-benar tak mirip
dengan sushi di depanku ini. Tapi ada juga yang namanya Salmon Takamaki, dan fotonya benarbenar
mirip si sushi-tak-bertuan. Aku mencoba mengingat-ingat, dan langsung merutuk dalam
hati begitu tahu di mana letak kesalahannya. Sewaktu memesan tadi, aku hanya menyebutkan
“Salmon Takamaki satu”, bukannya “BAKED Salmon Takamaki satu”!!!
Rupanya si waitress nggak salah catat, akulah yang bego kuadrat karena sok irit kata waktu
menyebutkan pesanan!
Ha! Mana kutahu kalau Baked Salmon Takamaki dan Salmon Takamaki rupanya berbeda
jauh begini?
“Say, pesanan yang diantar salah, ya? Aku panggilin waitress-nya, ya?”
Aku menggeleng cepat-cepat. “Nggak, nggak salah kok. Aku aja yang tadi keliru pesannya.
Yang salah aku.”
“Ya udah, kalau gitu kamu pesen lagi aja. Yang itu nggak usah dimakan.”
“Jangan! Aku makan ini aja nggak papa kok.” Aku nyengir bego sambil mengambil sepotong
sushi-tak-bertuan yang kini sudah diketahui siapa tuan... ehh, nyonyanya itu dengan sumpit, dan
memasukkannya ke mulut.
Hmm... not bad. Hanya agak kenyal-kenyal sedikit.
Yang sedetik kemudian kusadari, “kenyal-kenyal” itu berasal dari potongan salmon di
tengah-tengah sushi, yang jelas-jelas MENTAH.
Glek. Aku menelan susah payah. Nggak amis memang, dan sama sekali nggak membuatku
mual. Rasanya bahkan lumayan. Tapiii... “bahan-bahan yang mentah” adalah salah satu alasan
kenapa aku nggak suka sushi. Dan sekarang aku baru saja menelan salah satu di antaranya!
Telan, Alice, telaaaaaannnnn!
“Say, kalau nggak suka nggak usah dipaksain. Nih, kamu makan Chicken Katsu aja,” Dylan
menatapku khawatir, dan menyorongkan salah satu piringnya.
“Nggak usah. Nggg... enak kok. Aku makan ini aja, hehe...”
Dan selama setengah jam berikutnya aku sibuk berkutat menghabiskan Salmon-Takamakisalah-
pesan itu. Mencampurnya dengan kecap asin dan wasabi banyak-banyak ternyata cukup
menolong.
Ohh, how I wish they’ve cooked the salmon....
IDE GILA
BENAR-BENAR nggak terasa sudah setahun gue dan Alice jadian. Rasanya kok kayak baru
kemarin ya gue ketemu dia di jumpa fans pensinya SMA 93? Rasanya baru kemarin Kinar
ngenalin dia ke gue, dan baru kemarin juga ada syuting Pacar Selebriti.
Hmm, memang bener kata orang, waktu terasa berjalan cepat sekali kalau kita menjalani
sesuatu yang menyenangkan.
Setelah masalah dengan Noni dulu itu, nggak ada satu pun masalah lagi yang muncul
antara gue dan Alice. Yah, paling masalah-masalah kecil kayak berantem karena gue datang
telat saat janjian (kalau nggak macet bukan Jakarta namanya, man! Dan Alice terus-menerus
menelepon, padahal bahaya banget kalau gue menerima telepon saat gue di jalan raya!), terus
Alice yang masih suka minder ada di sebelah gue. Nggak tahu kenapa. Padahal di mata gue,
she’s the best girl ever.
Memang, pemberitaan infotainment di awal-awal kami go public dulu nggak begitu
bagus. Gue malah dengar beberapa orang mengomentari gue bego karena blak-blakan
mengaku udah punya cewek. Katanya, tabu buat personel band yang lagi ngetop untuk
mengaku nggak jomblo lagi. Popularitas bia turun, fans bisa bubar jalan.
Sebodo amat lah.
Bukannya fans nggak penting buat gue. Oho, tanpa mereka, siapa sih Skillful? Siapa sih
Dylan? Tapi kalau gue sampai harus mengorbankan perasaan cewek yang gue sayangi hanya
karena alasan kayak gitu, itu gila namanya. Sebuah band harusnya disuka karena lagulagunya
bagus, personelnya ramah, bukan karena masih single atau nggak. Kalau band itu
bener-bener bagus, biarpun semua personelnya udah punya anak, pasti deh fans nggak bakal
lari.
Lho, kok gue jadi berfilsafat ya?
Yah, pokoknya gitu deh pandangan gue. Gue nggak mau menomorduakan Alice, dia
udah banyak terluka gara-gara itu. Bohong kalau gue bilang gue sayang dia, tapi masih
melakukan hal-hal yang bikin dia sedih.
Nah, singkatnya, gue happy. Nggak mau muluk dengan bilang she’s the one. But I would
say that I’ve finally found someone. Someone who could be the one. Gue berani bilang igut
karena melihat satu fakta: Mama, seperti yang udah gue duga, sayang banget sama Alice.
Malah kadang gue ngerasa gue yang dianaktirikan kalau ada Alice.
Contohnya nih, minggu lalu waktu Mama bikin brownies kukus. Yang dibolehin makan
potongan pertama dari pan itu Alice! Terus Mbak Vita, pacarnya Tora. Terus Papa. Terus
Tora. Baru deh terakhir gue dikasih izin. Dianaktirikan banget, kan?
Tapi gue nggak keberatan kok. Kalau Mama udah sesayang itu sama orang, itu pertanda
ke depannya semua rencana bakal mulus.
Nggak percaya? Gue ada bukti: Mama sayang banget sama Mbak Vita (nggak heran sih,
kan Mbak Vit aorangnya taat banget sama Tuhan, cantik, baik, pinter, pula! Gue aja masih
nggak percaya Tora yang suka seenak udelnya sendiri itu bisa dapet cewek kayak Mbak
Vita!), dan sekarang... Tora and Mbak Vita are getting married!
Tora, abang gue yang suka iseng itu, mau nikah! Gue masih nggak percaya!
See? Pokoknya kalau Mama setuju, semuanya langsung berjalan mulus.
Yah, bukannya gue berpikir mau merit sama Alice atau apa (gila aja, dia kan belum lulus
SMA!), tapi ini bisa jadi pertanda yang bagus, kan?
“Hoi! Bengong!” Dudy menepuk punggung gue dari belakang, dan gue nyaris jatuh
tengkurap ke depan.
“Sialan lo, ngagetin aja!” Gue mendorongnya balik, dan dia cengar-cengir.
“Dipanggil Bang Budy noh!”
“Ada apa?”
“Mana gue tahu! Udah sana cepetan, lo kan tahu dia orangnya kayak apa kalo ngadepin
orang lelet!”
Gue mengedikkan bahu, lalu berjalan menuju ruangan Bang Budy. Gue mengetok pintu
dan masuk.
“Abang manggil aku?”
“Iya. Duduk, Lan.”
Gue menurut, dan mengempaskan diri di salah satu sofa di situ. “Ada kontrak baru lagi?”
Bang Budy menggeleng. “Sebenernya Abang malu mau ngomong soal ini sama kamu.”
Gue bengong. Weitss, kenapa Bang Budy bilang gitu? Apa yang bikin dia malu untuk
ngomong ke gue? Jangan-jangan dia mau mengakui bahwa...
Hiiii... nggak deh!
“Ada apa sih, Bang?”
“Tadi Abang ditelepon Pak Leo, dia...” Gue langsung memasang telinga baik-baik. Pak
Leo adalah bos sekaligus pemilik Pro Music Indonesia, recording label tempat Skillful
bernaung. Dia nggak bakal menelepon kalau nggak ada urusan yang benar-benar gawat
darurat. Kantor Pro Music kebakaran, misalnya.
Eh nggak ding, kalau urusannya begitu, yang bakal dia telepon jelas pemadam
kebakaran, bukan Bang Budy.
“Ya?” Gue jadi nggak sabaran. Kok tumben sih Bang Budy ngomongnya kayak balita
baru belajar bicara gini? Biasanya dia kalau ngomong cas-cis-cus-pret, tanpa jeda dan
langsung, meniru istilah Tukul, tunjek poin.
To the point, maksudnyaaaa.
“Kata Pak Leo... Aduh, Dylan, ini bad news.”
Haduh, ampun deh... bad news! Sekalinya nelepon, bos besar itu malah bawa berita
buruk! Gue jadi punya firasat jelek...
“Apa penjualan album Skillful merosot? Karena... karena aku ngaku udah punya pacar?”
Gue nggak bercanda. Dalam dunia gue dan Skillful, hal kayak gitu sangat mungkin
terjadi. Seperti yang gue bilang tadi, banyak orang menganggap tabu kalau seorang personel
band ngetop mengakui statusnya udah nggak single.
Dulu, penjualan album Peterpan merosot setelah Ariel merit. Itu bukti nyata.
Tapi untunglah, Bang Budy menggeleng.
“Nggak, ini sama sekali nggak ada hubungannya sama kamu dan Alice. Penjualan album
bagus kok... bagus banget.” Sekarang Bang Budy meremas-remas tangannya dengan gelisah.
Haduh, gue jadi punya pikiran lebih buruk lagi nih kalau gaya Bang Budy udah kayak ayam
mau bertelor begini!
“Ada apa sih? Pak Leo bilang apa?”
Bang Budy kelihatannya benar-benar bakal bermetamorfosa jadi ayam petelur, karena
dia sekarang mengubah-ubah posisi duduknya. Seolah ada anak ayam yang mulai menetas di
bawah bokongnya.
“Kamu pernah dengar nama band Excuse?”
“Nggak.”
“Itu band baru Pro Music. Kata Pak Leo, mereka sangat potensial.”
“Oh, maksudnya saingan baru, gitu? Kalau itu Abang nggak usah khawatir, kita udah
punya penggemar sendiri, Bang.”
“Nggak, Abang nggak khawatir. Yang khawatir justru Pak Leo.”
“Hah? Maksudnya?” Gue jadi nggak nyambung. Kenapa tiba-tiba Pak Leo khawatir
Skillful punya saingan? Toh kami selama ini punya banyak saingan dan kami tetap baik-baik
aja.
“Mmm... Pak leo bukan khawatir sama Skillful, tapi sama Excuse.”
“Tunggu, biar aku perjelas dulu biar nantinya nggak salah tangkap. Pak Leo khawatir
sama Excuse, karena mereka band baru dan belum tentu penjualan albumnya bagus?”
“Ya.”
“Terus, apa hubungannya sama Skillful? Kita diminta bantuin mereka?”
Bang Budy kelihatan menelan ludah dengan susah payah. Perasaan gue makin nggak
enak. “Kurang-lebih... ya, seperti itu. Kita diminta bantuin mereka.”
“Bantuin bikin lagu?”
Bang Budy menggeleng.
“Membawa mereka jadi opening band kita untuk promo tur berikutnya?” tebak gue lagi.
Bang Budy, lagi-lagi, menggeleng.
“Terus apa?”
“Ehh... yah, sebenarnya kamu yang diminta bantuannya, Lan.”
“Aku?” Gue menuding muka gue sendiri. Gimana gue bisa bantuin band itu?
“Iya. Kamu diminta... membantu mereka meraih atensi masyarakat.”
“Dengan cara?”
“Mmm... membuat masyarakat tahu kalau ada band bernama Excuse.”
“Iya Bang, aku ngertiiiiii... tapi dengan cara apa?” Gue mulai nggak sabaran. Bang Budy
bener-bener aneh kalau ngomongnya belepotan begini!
“Ehh... kasarnya, kamu diminta cari masalah sama vokalis band itu, lalu apalah... yang
bisa bikin kalian berdua muncul di infotainment, lalu masyarakat akan tahu ada band yang
bernama Excuse... Tapi soal yang cari masalah itu, kalian berdua cuma sandiwara kok...”
Gue melongo dengan suksesnya! Jadi INI yang bikin Bang Budy ngomong ke sana
kemari dari tadi? Gue diminta “membawa” vokalis Excuse, dan secara tidak langsung
bandnya juga, untuk masuk infotainment???
Benar-benar gila!
“Aku nggak setuju, Bang.”
“Yah... Abang juga. Tapi Pak Leo sendiri yang minta sama kita...”
Gue jadi emosi nih kalau gini caranya! “Tapi apa Pak Leo nggak mikirin apa dampaknya
buat Skillful nanti? Apa Pak Leo nggak mikirin dampak buat aku pribadi? Katakanlah aku
terlibat tindakan pemukulan sama vokalis Excuse, apa itu nggak bikin image-ku jadi jelek?
Nggak bikin image Skillful jadi jelek?”
Bang Budy menghela napas. Seumur-umur, baru kali ini gue berani menyerocos di
depannya. Biasanya juga dia yang menyerocos di depan gue!
“Lalu...”
“Bang, Abang tahu aku nggak suka infotainment. Sebisa mungkin aku menghindar, tapi
sekarang Pak Leo begitu aja minta aku jadi... jadi tumbal supaya memuluskan jalan
Excuse?!”
“Dylan, Abang juga nggak setuju! Kamu kira Abang mau merusak image band yang
sudah Abang bentuk? Kalau kau mau tahu, dari riset label, kita adalah band paling minim
publikasi negatif!”
“Terus kenapa sekarang Pak Leo kepingin bikin kita jadi band haus publikasi? Kenapa
nggak minta vokalis band lain aja untuk main sandiwara sama vokalis Excuse? Kenapa nggak
nyuruh... nyuruh Hugo-nya eXisT aja? Dia kan suka cari masalah! Orang nggak bakal kaget
kalau dia yang muncul di infotainment!” Sekarang gue mulai adu mulut sama Bang Budy.
“eXisT bukan artis Pro Music, Lan,” kata Bang Budy, dan gue langsung memaki-maki
dalam hati. Tentu saja Pak Leo nggak bisa menggunakan artis dari recording label lain. Dia
harus menggunakan artis dari labelnya sendiri, yang kalau gue pikir-pikir, memang yang
paling cocok dijadikan boneka adalah gue.
Oh damn Sugar-honey-ice-tea!
“Kamu harus tahu, Pak Leo justru butuh oran gyang selama ini nggak pernah muncul
dalam sorotan publisitas. Orang yang kalau masuk infotainment akan bikin masyarakat kaget,
dan nggak mudah lupa...”
“Yeah, aku bakal selamanya diingat sebagai tukang jagal!” gerutuku emosi. Ini benerbener
ide tergila yang pernah kudengar.
Entah apa reaksi Alice kalau mendengar soal ini.
“Apa ada pilihan untuk menolak?” tanya gue pesimis.
“nggak ada. Kamu tahu Pak Leo. His wish is our command.”
Kayaknya gue kepingin bener-bener menghadiahi bogem mentah sama vokalis Excuse
itu. Gara-gara bandnya mau cari atensi masyarakat, gue yang jadi korban!
Gue hampir membanting pintu ruangan Bang Budy waktu dia memanggil.
“Lan, cuma mau ngingatin aja, tanggal lima belas ada MTV Awards. Kamu boleh ajak
Alice.”
Hah, kok bisa saat ada masalah gue-harus-berakting-memukuli-vokalis-band-pendatangbaru-
supaya-bandnya-dapat-perhatian-cukup begini, Bang Budy masih bisa membahas MTV
Awards?!
REGINA HELMY, JANGAN SAMPAI KAU YANG
TERPAKSA MENGOMPRES PIPIMU DENGAN ES
BATU!
ADA begitu banyak hal yang baru kusadari setelah satu tahun aku dan Dylan jadian. Ehh...
baikan. Di antaranya adalah...
1. Dylan ternyata sangaaaattt cerdas. Dulu, waktu aku masih berstatus fans Skillful, dan
beberapa kali menonton Dylan manggung, aku tahu kalau cara dia berkomunikasi dengan
audiens sangat payah. Omongannya kadang-kadang nggak nyambung, dan suka salting sendiri di
panggung. Tapi ternyata kalau aku ngobrol-ngobrol berdua aja sama dia, dia benar-benar cerdas.
Diajak ngobrol apa aja nyambung. Belum lagi otaknya yang punya daya ingat super itu.
Wawasannya juga luas. Jadi kesimpulanku: tiap kali di atas panggung pasti dia grogi, sampaisampai
omongannya suka ngawur dan melantur ke mana-mana.
2. Dylan itu jayus. Bener deh. Sering aku nggak nyadar kalau dia sedang bermaksud melucu,
dan malah menatapnya dengan ekspresi “maksud-loo?”. Hmm... mungkin itu sebabnya dia
menganggapku sangat lucu. Jelas stok lawakanku jauh lebih fresh dan nggak garing kayak dia,
haha!
3. Dylan kalau mandi lamaaaaa banget! Entah apa saja yang dilakukannya di dalam sana.
Kamar mandi, maksudku. Pernah aku sampai harus menunggu hampir satu jam di teras
rumahnya, dan Dylan belum selesai mandi juga. Mungkinkah bercukur menghabiskan waktu
lebih lama dibanding luluran?
4. Porsi makan Dylan nggak jauh beda dengan kuli pelabuhan. Aku sampai kaget
waktumakan bareng dia di Hoka-Hoka Bento, kira-kira tiga bulan setelah kami balikan, karena
dia sanggup menghabiskan porsi makan untuk tiga orang! Akibatnya, sekarang beratnya naik lima
kilo, dan banyak diprotes para fansnya. Kasihan dia... Selain aku, nggak ada yang tahu masalah
kritikan tentang berat badannya itu membuatnya cukup stres.
5. Hal yang membuat Dylan malas menyetir mobil adalah karena waktu dia pertama kali
belajar menyetir dulu, dia menabrak tong sampah tetangganya sampai ambrol, dan diminta
mengganti rugi empat ratus ribu! Hah, aku sih juga bakal trauma kayak dia kalau diminta
mengganti sebanyak itu! Tetanggaku, Bu Parno, si Mrs. Infotainment itu, seenggaknya nggak
akan minta ganti rugi sebanyak itu kalau aku menghancurkan tong sampahnya. Atau... hmm...
nggak tahu juga sih. Aku nggak pernah menabrak tong sampahnya, soalnya. Belum. Hehe.
6. Dylan bener-bener kepingin melanjutkan kuliahnya. Kalau bisa, dia malah mau
meneruskan S2. Tapi sampai sekarang jadwal Skillful masih padat, dan Dylan terpaksa memperpanjang
cuti kuliahnya.
7. Kue favorit Dylan adalah pukis. Aku nggak bercanda: P-U-K-I-S. Kalau ada donat J.Co
dan pukis di depannya, lalu dia disuruh memilih, aku berani bertaruh kalau dia akan memilih
pukis. Kamu nggak bakal percaya sebelum melihatnya sendiri.
8. Jangan pernah mengajak Dylan bicara saat dia baru bangun tidur dan belum minum kopi.
Dalam kondisi seperti itu, kalau kamu meneleponnya untuk minta jemput di PIM, dia akan
menjemputmu ke Plaza Senayan. Aku pernah mengalaminya. Jangan tertawa.
9. Dylan itu orangnya sangat pengalah. Sama sekali nggak egois, sampai-sampai aku merasa
nggak enak karena sering mau menang sendiri. Termasuk untuk menentukan film apa yang akan
kami tonton kalau ke bioskop. Dia berkali-kali mengalah untuk nggak nonton The Bourne
Ultimatum atau Die Hard 4.0 karena aku memaksanya nonton Selamanya dan Harry Poter and the
Order of the Phoenix.
Di luar semua itu, banyaaakk sekali yang berubah dalam hidupku. Termasuk bertambahnya
gelarku sebagai psikolog amatir free charge, karena fans-fans Skillful yang kukenal sekarang sering
banget menelepon atau SMS untuk curhat masalah-masalah pribadi mereka. Padahal ada lho yang
sudah anak kuliahan, yang notabene lebih tua dari aku dan harusnya bisa lebih dewasa dalam
menyikapi masalahnya, tapi malah minta saran dariku.
Tapi aku menikmati semuanya.
Kecuali saat-saat di mana gerombolan wartawan infotainment mengintilku dan Dylan ke mana
pun, itu sangat menyebalkan. Bagaimana caranya pacaran kalau dilihatin begitu banyak orang,
plus disorot kamera, plus bakal jadi tontonan jutaan penikmat infotainment se-Indonesia?
Aku nggak akan bangga seandainya pagi-pagi saat aku mau berangkat sekolah, Bu Parno
muncul di teras rumahnya dan bilang, “Lice, saya lihat kamu lho di infotainment kemarin sore.”
Percayalah, itu pertanda bahwa namaku akan disebut-sebut setidaknya seratus kali dalam
arisan PKK selanjutnya.
* * *
“Aku nggak mau makan sushi lagi,” kataku begitu Dylan bilang dia lapar. Dylan tertawa geli.
“Aku nggak bilang kalau mau makan sushi kok,” katanya sok ngeles. “Kita makan pizza aja,
yuk?”
Aku mengangguk. Whatever lah, asal bukan sushi lagi. Aku nggak sanggup membayangkan
harus mengulang skenario menelan salmon mentah kemarin.
Dylan menggandengku menuju Pizza Hut. Seperti biasa, orang-orang yang kami lewati
menatap kami dengan tatapan ohh-ada-seleb-lewat. Bahkan ada dua cewek yang memberanikan
diri menyapa Dylan dan mengajaknya foto bareng, biarpun suara mereka bergetar saking
groginya saat bicara. Haha, kalau aku melihat fans-fans seperti ini, aku jadi teringat masa lalu, saat
aku begitu groginya untuk bicara pada Dylan.
Kami sudah sampai di depan Pizza Hut, dan hampir saja masuk waktu seseorang
memanggil.
“Dylan!”
Spontan kami berhenti, dan aku menoleh melihat siapa yang memanggil itu.
O-em-ji.
Regina Helmy!
Damn, kenapa dari sekian banyak mal di Jakarta, dia memilih datang ke mal ini dan
berpapasan dengan aku dan Dylan? Dan dilihat aslinya, ternyata dia jauuuhh lebih cantik daripada
di TV. Tinggi langsing, dengan pakaian modis, yang aku yakin kulihat minggu lalu di etalase
ZARA, menempel di badannya. Ohh, dan tasnya pun Anya Hindmarch! Dan dia pakai boots yang
keren banget! Apakah itu... Jimmy Choo yang terbaru???
“Hai, Gin!” sapa Dylan sambil, entah mataku salah lihat atau apa, tersenyum sumringah.
Gin? Oh ya, Gin dari Gina. Gina dari Regina. Hmm... tidakkah terdengar terlalu akrab?
Semacam panggilan... sayang?
Heh... nggak, aku nggak boleh mikir yang aneh-aneh!
“Hai!” balas Regina sambil tersenyum lebar. Gigi-giginya rapi sekali, dan putih bersih. Entah
seberapa sering di-bleaching. Dan entah kenapa aku juga setengah berharap akan menemukan cabe
nyelip di sana. Itu akan membuatnya sedikit manusiawi, kecantikannya terlalu mirip bidadari,
bikin aku minder saja!
Sayang sekali nggak ada cabe nyelip di giginya.
“Sama siapa?” tanya Regina.
“Ini, sama cewek gue.” Dylan menunjukku yang ada di sebelahnya.
Regina, dengan kurang ajarnya, celingak-celinguk, seolah dia nggak percaya akulah yang
dimaksud Dylan sebagai ceweknya! Sialan!
“Oh,” katanya akhirnya, saat tatapannya berhenti padaku. “Ini cewek lo?”
“Ya. Namanya Alice. Alice, Regina. Regina, Alice,” Dylan saling mengenalkan kami. Mau
nggak mau aku menjabat tangan Regina, yang benar-benar halus bak sutra. Padahal tadi aku
berharap tangannya kapalan atau berkutil. Sayang sekali, harapanku lagi-lagi nggak terkabul.
“Eh, Lan, pipi lo masih merah...” Regina melepaskan tangannya dari jabatanku dan...
menyentuh pipi Dylan! Di depanku!!!
Dobel kurang ajar! Berani-beraninya! Apa dia sama sekali nggak memandangku???
Helooooo... aku ini pacarnya Dylan!
“Ng... nggak, udah nggak papa kok,” kata Dylan dengan nada suara yang aneh, jelas dia
merasa risih pipinya disentuh Regina begitu!
Atau dia malah... grogi?
“Sori ya waktu itu gue bego banget sampai harus take berulang kali,” kata Regina sambil
tertawa kecil. Tawanya halus sekali, seperti dilatih di sekolah kepribadian. Sangat bertolak
belakang dengan cara tertawaku yang bercampur antara ngakak dan mendengus.
“Ah, nggak papa, toh akhirnya beres juga tu video klip,” Dylan cengengesan.
“Habisnya... gue grogi sih kalau di depan lo,” kata Regina pelan, tapi membuatku serasa baru
dipaksa menelan sebaskom Salmon Takamaki. Tanpa wasabi dan kecap asin.
Ini orang sengaja manas-manasin aku, atau dia memang lagi flirting sama Dylan???
“Ah, lo bisa aja. Gue bukan siapa-siapa lagi, kan lo yang model dengan nilai kontrak
termahal se-Indonesia.”
Ya ampun. Sekarang mereka malah saling memuji! Dan aku terlupakan!
“Nilai kontrak nggak menjamin kualitas, Lan,” kata Regina lagi, dan dengan segenap jiwa
aku mengaminkannya dalam hati. Yeah, dia boleh saja berbandrol paling tinggi se-Indonesia, tapi
di mataku dia sangat norak! Nggak berkualitas, huh!
“Eh, gue pamit dulu ya, mau ada pemotretan. Takut kena macet di jalan.” Dia melirik
arlojinya, dan aku samar bisa melihat huruf G besar terpampang di sana.
Ah ya, aku lupa dia spokeperson untuk merek arloji itu di Indonesia. Mungkin dia otomatis
mendapat suplai produk arloji keluaran terbaru merek itu setiap bulan.
“Lho, nggak mau gabung sama kita?” tanya Dylan sambil menunjuk pintu masuk Pizza Hut,
yang membuatku melotot saking kagetnya. Dylan mengajak Regina gabung sama kami???
“Sori, Lan, gue nggak bisa. Ada pemotretan, dan gue harus ngurusin badan lagi nih, minggu
depan gue ikut rombongan Anne Avantie ke State, ada undangan fashion show di sana.”
Huh! Ingin rasanya aku mengucapkan “minggu-depan-gue-juga-ikut-rombongan-Donatella-
Versace-ke-Planet-Mars-ada-undangan-fashion-show-di-sana”!
“Ohh, ya udah. Good luck deh buat kerjaan lo.”
“Oke. Ntar pipi lo kompres pake es batu gih, biar hilang merahnya,” kata Regina sambil,
sekali lagi, menyentuh pipi Dylan!
Kalau dia nggak segera cabut dari sini, dia yang akan kubuat terpaksa mengompres pipi
dengan es batu nanti malam!
Regina ber-dadah ria pada Dylan (kelihatannya dia sengaja berpura-pura aku nggak ada di
sebelah Dylan), kemudian berlalu pergi. Dylan menggandeng tanganku lagi dan kami masuk ke
Pizza Hut.
Sampai pesanan kami datang, aku masih merengut bete.
“Kok kamu nggak makan?”
Aku makin manyun. “Nggak! Minggu depan gue ada show Anne Avantie di State! Harus
ngurusin badan!”
Alis Dylan terangkat sebelah, lalu dia terpingkal-pingkal.
“Kamu marah ya sama Regina? Gara-gara dia menyentuh pipiku tadi?”
Aku membuang muka. Ternyata aku keliru menilai Dylan cerdas! Buktinya, untuk
pertanyaan yan gudah jelas jawabannya gitu aja, dia masih nanya!
“Cieee... yang lagi cemburu,” Dylan menggodaku, tapi aku tetap buang muka. Biar aja sekalisekali
dia tahu rasanya dicuekin! Suer, aku kesel banget tadi sepanjang dia ngobrol sama Regina!
Aku merasa... minder. Dan terintimidasi. Hanya dengan kehadiran seorang Regina Helmy.
“Jangan gitu, Say. Aku nggak ada apa-apa kok sama Regina. Di video klip sekalipun, adegan
kami nggak ada yang berhubungan sama mesra-mesraan. Klip itu kan isinya tentang cewek sama
cowok yang berantem melulu.”
Kayaknya aku mulai melunak. Iya ya, urusan Dylan dan Regina kan cuma di syuting video
klip itu saja, dan kalau video klip itu sudah selesai, berarti mereka nggak akan beruruan lagi. Done.
“Yahh...,” kataku akhirnya, setengah merengek, “wajar kan kalau aku khawatir kamu
kecantol cewek macam Regina. Dia kan cantik, langsing, modis, model top pula...”
“Say, aku tuh cari pacar yang bisa bikin aku merasa there’s no one else I’d rather spend my time
with. Yang kalau aku nggak ketemu dia sehariii aja, aku bisa kangen setengah mati. Pacar yang
mau diajak makan Pizza Hut bareng, bukannya yang menolak dengan alasan dia diet karena
minggu depan ada undangan fashion show.”
Aku menelan ludah. Ah, memang aku sering sekali jadi childish dan konyol begini. Dan
hebatnya, Dylan selalu bisa menghadapi aku dengan tenang.
Kok dia masih bisa tahan juga ya sama aku??
“Tapi... tapi... kenapa dia pegang-pegang pipimu segala?” tanyaku tergagap. Aku jadi malu
sudah ngambek, tapi gengsi dong kalau ngaku!
“Regina emang orangnya gitu, suka SKSD.” Dylan nyengir dan aku merasa senang melihat
ada satu poin negatif Regina di mata Dylan. Seperti yang kubilang sebelumnya, satu poin jelek
akan membuat cewek itu terlihat sedikit manusiawi.
“Berarti kamu nggak suka, kan... nggg... digituin?”
“Digituin gimana? Dipegang-pegang pipinya? Ya nggak sukalah, Say... sebel banget!”
“Oohh...”
“Tapi aku kasihan sama Regina.”
“Heh? Kenapa?” Menurutku, nggak ada satu hal pun dari Regina yang bisa membuat orang
mengasihaninya. Apa coba yang harus dikasihani? Cantiknya selangit, karier sukses, dan penghasilannya
pasti berlimpah.
“Cowoknya kan meninggal beberapa bulan lalu. Narkoba.”
Aku menggigit bibir. Aku sama sekali nggak tahu tentang itu. Secara, aku bukan penggila
infotainment kayak Bu Parno.
Dan yah... mungkin itu sebabnya Regina sengaja memanas-manasi aku dengan SKSD sama
Dylan tadi. Mungkiiiin dia iri aku masih punya Dylan, sementara dia kehilangan cowoknya.
Kok aku jadi kasihan juga ya, sama dia? Jadi prihatin. Hmm...
“OH iya, Say, aku mau kasih tahu kamu sesuatu nih.”
“Hmm?”
“Tanggal lima belas nanti nggak ada acara, kan? Nggak ada jadwal ulangan juga?”
Aku mengerutkan kening. Memangnya ada apa Dylan tanya kayak gitu?
“Bentar, coba kuingat-ingat dulu...” Aku memutar otak. “Kayaknya nggak ada deh, kenapa
emangnya?”
“Mau ikut ke MTV Awards nggak?”
“HAH??!”
“MTV Awards,” ulang Dylan. “Kan Skillful masuk nominasi, jadi aku sama anak-anak
semua bakal dateng. Nah, Rey, Dovan, Ernest, sama Dudy berencana ngajak istri masing-masing.
Dan aku jelas nggak mau menghabiskan semalaman duduk garing di sebelah Bang Budy. So,”
Dylan tersenyum, “would you like to accompany me?”
Kayaknya menu sarapan yang kumakan tadi pagi (roti panggang dan telur mata sapi) jungkirbalik
di dalam perutku. Seolah gerak peristaltik nggak lagi manjur untuk mengolah mereka
menjadi energi, jadi mereka memutuskan untuk berakrobat sendiri di lambung dan usus-ususku.
“Maksudnya nanti... aku bakal duduk di sebelahmu sepanjang acara itu, gitu?”
Dylan nyengir. “Kecuali kamu lebih suka duduk di sebelah Bang Budy.”
“Dylan, aku serius! Aku nggak pernah ikut acara-acara kayak gitu! Apalagi...”
Aku menyumpah-nyumpah dalam hati. Ya ampuun, acara macam itu kan pasti ada red carpet
session-nya! Belum lagi, bakal ada para VJ MTV yang jadi fashion police, yang bakal mencari tahu
dari mana asal-usul gaun, jas, baju, dan sepatu orang-orang yang lewat di situ!
Aku ingat, tahun lalu, Titi Kamal datang sambil menggandeng Christian Sugiono di MTV
Awards, dan saat ditanya gaun, clutch, dan stiletto-nya dibeli di mana, dia menyebutkan Gucci,
Guess?, ZARA. Berapa budget yang dia habiskan? Sepuluh jeti. Lebih dikit.
Entah berapa yang dia maksud dengan “lebih dikit” itu.
Kalau aku setuju untuk menemani Dylan ke sana, aku harus pakai baju apa??? Aku jelas
nggak punya budget “sepuluh juta lebih dikit” seperti Titi Kamal!
“Sayaaang, helooo...? Kok ngelamun?”
Aku menggeleng beberapa kali, berusaha mengusir bayangan Titi Kamal dari benakku.
“Mmm, Lan, aku nggak tahu apa aku pantas datang di acara kayak gitu.”
“Apa kamu pantas? Ya pantas dong! Kenapa kamu mikir kayak gitu?”
“Aku...” Ah, nggak lucu kalau aku bilang aku nggak punya baju yang pantas untuk datang ke
acara itu. Bisa-bisa nanti Dylan mengira aku minta dibelikan baju!
Yeah, aku tahu dengan sekali manggung dia bisa membelikanku segala macam yang dipakai
Titi Kamal tahun lalu itu, tapi itu kan gila sekali!
“Aku... mmm... aku takut bikin kekacauan di sana.”
Dylan bengong. “Kekacauan? Kamu... nggak berencana bawa bom kentut atau apa, kan?”
“Aduh, ya nggak laaaaahhhh! Maksudku, aku takut kalau nanti tingkahku di sana ada yang
konyol, dan ujung-ujungnya malah bikin kamu malu...”
Nah, itu alasan yang cukup brilian untuk dipikirkan dalam waktu beberapa detik.
“Nggak usah mikir kayak gitu, kamu nggak bakal bikin aku malu kok. Aku malah bangga
banget kalau bisa datang sambil menggandeng kamu. Ikut, ya?”
Oh, sudahlah. Memangnya aku bisa bikin kekonyolan apa sih di sana? Dan mungkin aku bisa
memikirkan soal baju nanti. Ini toh masih tanggal satu. Masih ada waktu dua minggu untuk
memutar otak.
GARA-GARA GUE
GUE nggak tega cerita sama Alice tentang obrolan gue dan Bang Budy waktu itu. Dia pasti
bakal bingung banget kalau gue cerita, dan gue nggak mau menambah beban pikirannya.
Alice itu orangnya suka kepikiran kalau ada masalah.
Nah, sebagai gantinya, gue malah mengajak dia ke MTV Awards. Dia sempat nggak
mau, katanya dia merasa nggak pantas datang ke acara semacam itu. Yang bener aja, Babe,
nggak ada yang lebih pantas datang bareng gue ke acara itu selain lo.
Hmm, tapi tampaknya ajakan menemani gue ke MTV Awards juga membuatnya
kepikiran. Kadang-kadang gue berpendapat Alice seharusnya menjalani hidupnya dengan
lebih santai. C’mon, she’s not even seventeen yet! Kalau nggak berhenti mengkhawatirkan
segala sesuatu, dia bakal cepat tua.
REFERENSI : http://baca-novelnya.blogspot.co.id/2012/06/dear-dylan.html
Komentar
Posting Komentar